Dalam beberapa opini yang telah dipublikasikan oleh Radar Sukabumi, saya pernah menulis bahwa kondisi sosial di negara ini, lebih kecil dalam cakupan Kota Sukabumi, sangat identik dengan kondisi Eropa di abad pertengahan. Anda jangan pernah mengira kondisi Eropa abad pertengahan sejak keruntuhan Romawi sampai abad ke 14 sama dengan kondisi Eropa saat ini. Peradaban dunia pada abad pertengahan sedang mengalami pergeseran dari Barat ke Timur saat para sarjana muslim mulai menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani ke dalam Bahasa Arab. Eropa mengalami keputusasaan karena terjadinya missing link ilmu antara diri mereka dengan peradaban masa lalunya.
Eropa abad pertengahan adalah potret kekumuhan. Kota-kota dipenuhi dan disesaki aroma busuk. Sanitasi lingkungan yang buruk. Urbanisasi besar-besaran dari daerah rural ke daerah urban telah memunculkan patologi sosial baru mengimbangi patologi lingkungan dan wabah-wabah penyakit yang menerjang Eropa saat itu. Selokan-selokan dialiri oleh air-air berwarna hitam pekat. Orang-orang Eropa memiliki kebiasaan membuang sampah dari rumah-rumah mereka di lantai dua dan tiga ke jalanan. Sisa-sisa makanan yang dilemparkan dari rumah-rumah tersebut dikerubuti oleh para jembel, mereka saling berebut sisa makanan. Sampah sayuran dan buah-buahan busuk menyengat baunya, dikerubungi lalat di siang hari dan digusur oleh tikus-tikus ke sana ke mari pada malam harinya. Eropa yang kumal tersebut tidak memiliki ikhtiar atau upaya bagaimana menjadikan kota dan tempat tinggal mereka menjadi bersih.
Kekumuhan Eropa selama abad pertengahan tersebut harus dibayar dengan harga mahal saat di penghujung abad pertengahan Eropa dilanda oleh wabah hitam (Black Death), sejarah mencatnya dengan sebutan maut hitam. Epidemi ini disebutkan sebagai sebuah wabah yang belum pernah dikenal sebelumnya. Disebabkan oleh semakin menyebarnya virus oleh binatang seperti tikus, menjangkiti hampir dua per tiga wilayah Eropa. Lingkungan kumuh dan Eropa semakin jatuh ke dalam epidemi yang lebih parah.
Golongan agamawan tidak memiliki upaya realistis selain merafalkan ayat-ayat suci dan mengatakan kepada jemaat bahwa epidemi ini merupakan siksa dari Tuhan karena semakin menjamurnya kejahatan yang disebabkan oleh kelompok tertentu. Kemudian kalimat ‘kelompok tertentu’ ini ditafsirkan oleh orang-orang Eropa sebagai kelompok yang tidak sama dengan mereka, etnis, bahasa, dan kebiasaannya. Kelompok tertentu adalah mereka, orang-orang Yahudi yang telah menjadi penyebab jatuhnya Eropa ke dalam kondisi yang paling mengerikan selama sejarah kehidupan Eropa, maut hitam. Maut hitam telah melahirkan wabah baru yang dialami oleh para pesakitan, fanatisme kelompok dan agama, orang-orang Yahudi diperangi, disiksa, dan diintimadasi demi alasan: orang-orang Yahudi telah membawa dan menyebarkan wabah hitam ke Eropa. Jika mereka tidak datang ke Eropa sudah dapat dipastikan maut hitam yang telah menelan sampai 75 juta nyawa itu tidak akan terjadi. Solusi maut hitam adalah dengan mensterilkan seluruh Eropa dari orang-orang Yahudi!
Albert Camus secara runut mendeskripsikan kondisi Eropa di abad pertengahan dalam salah satu novelnya: Sampar. Mayat-mayat yang membusuk dibiarkan tergeletak di jalanan, tikus-tikus mengerubuti mayat manusia itu tidak hanya di malam hari saja, juga telah terang-terangan di siang hari. Populasi tikus meningkat drastis, binatang pengerat yang telah menjadi bom virus itu berhamburan ke setiap penjuru Eropa. Golongan agamawan hanya cukup mengatakan kepada para pesakitan: lawanlah dengan berdoa kepada Tuhan agar penyakit dan wabah ini segera hilang. Novel Sampar karya Camus ini memang sengaja ditulis dengan nuansa absurd, pertentangan antara agama dan realitas, agama dan pernak-perniknya sama sekali lumpuh saat dihadapkan dengan persoalan yang dibahas oleh agama itu sendiri: siksaan dan azab Tuhan yang menyerang siapa saja sekalipun orang saleh. Maka, hanya kemahamurahan Tuhan lah yang dapat menghentikan wabah hitam ini. Tetapi pada akhirnya, maut hitam tersebut hilang juga dengan sendirinya setelah meninggalkan jejak mengerikan dalam sejarah kehidupan manusia.
Era Barok dan Sanitasi Lingkungan
Eropa tidak ingin mengalami nasib sial kembali. Selama wabah maut hitam menjangkiti wilayah Eropa telah menghilangkan tatanan masyarakat; hubungan kekerabatan, saling curiga, dan anti sosial yang disebabkan oleh rasa takut jika mereka saling menularkan maut hitam tersebut. Persinggungan budaya Eropa dengan tradisi keilmuan yang disebarkan oleh para sarjana muslim membawa mereka ke jaman Barok. Tata ruang perkotaan mulai dipikirkan dan dibangun, sanitasi lingkungan diperbaiki, aturan-aturan baru diterbitkan agar masyarakat tidak membuang lagi sampah ke jalanan, bangunan-bangunan menjulang didirikan sebagai simbol kebersihan sebuah kota. Seniman dan Budayawan melahirkan karya-karya yang menggambarkan keceriaan, rekayasa di berbagai seni pertunjukan agar para aktor benar-benar menghadirkan kegembiraan. Di era Barok, hidup dalam kondisi yang dipenuhi dengan ketegangan merupakan hal terlarang. Pokoknya, orang harus hidup bahagia, pante rei, petiklah bunga hari ini.
Era Barok telah membawa Eropa kepada pra-kondisi kemajuan dan pencerahan. Ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang pesat sebagai dampak dari semakin bersihnya kota dan daerah hunian. Pepatah yang berkembang saat itu adalah: “Peradaban lahir dari daerah yang sejuk dan bersih”. Tanpa kebersihan dan kenyamanan sebuah kota sangat mustahil melahirkan masyarakat dan orang-orang cerdas. Orang-orang Eropa berhamburan penuh kegembiraan, hal ini dilukiskan dalam Minuett, Boccerini, para pemuda dan gadis bersuka cita di bawah pohon apel sambil menikmati udara hangat musim semi. Kesadaran terhadap arti pentingnya penataan kota dari kumal menjadi bersih ini yang telah membawa Eropa dari kondisi sekarat menjadi manusia yang bangkit dan bugar kembali.
Sukabumi Sebagai Kota Bersih
Melalui sejarah maut hitam dan patologi lingkungan yang terjadi di Eropa selama abad pertengahan tersebut menjadi keniscayaan bagi kita untuk menafakuri agar sejarah abad pertengahan tersebut tidak terjadi dan dialami oleh kita. Membuat tata kota dan menjaga kebersihannya adalah rumus ampuh sebagai sikap preventif menghindarkan diri kita dari kondisi keterpurukan yang pernah dialami Eropa. Kota bersih tidak hanya sekadar harapan Kota Sukabumi, juga harus menjadi keadaban baru di Sukabumi ini, artinya kebersihan hanya mungkin dimiliki oleh manusia-manusia dan sebuah kota yang memiliki keadaban.
Sejak tahun 2007 penataan kali bersih melalui Program Kali Bersih, pembentukan pengurus Kota Sehat, penciptaan sekolah-sekolah sehat, program sanitasi lingkungan telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Sukabumi untuk mewujudkan Sukabumi sebagai Kota bersih. Tetapi untuk mewujudkan program tersebut sebagai sebuah gerakan harus diakui masih mengalami pasang surut selama satu dekade ini. Kita masih dapat melihat dengan mudahnya masyarakat di sekitar membuang sampah ke sungai, kita masih dapat dengan mudah melihat sampah-sampah bertumpuk di beberapa sudut jalan.
Dan kita tentu saja jangan terlalu memiliki anggapan bahwa melahirkan Kota Bersih hanya merupakan tugas Dinas Kebersihan yang telah bermetamorfosis menjadi Dinas Lingkungan Hidup saja. Mewujudkan Kota Bersih merupakan tugas kita semua. Sulit bagi kita agar terhindar dari kondisi Eropa di abad pertengahan jika pandangan tentang kebersihan dan upaya mewujudkan sebuah kota bersih saja masih harus saling tuduh tugas siapa. Maut hitam yang terjadi di Eropa selama abad pertengahan bukan wabah yang lahir begitu saja tanpa peran manusia yang semakin jorok mengotori lingkungannya.
Radar Sukabumi, Kamis 08 Agustus 2019