Semangat yang sering dibahasakan oleh Kang Emil, sejak masa kampanye Pilkada Provinsi satu tahun lalu yaitu Jabar Juara Lahir dan Batin. Jargon ini dipadatkan lagi menjadi “Jabar Juara!”. Sebuah ekspektasi dan harapan provinsi yang telah berumur 74 tahun ini dapat menjadi barometer setiap daerah yang ada di Indonesia di berbagai bidang kehidupan. Hal tersebut sangat selaras dengan visi Jawa Barat “ Terwujudnya Jawa Barat Juara Lahir Batin dengan Inovasi dan Kolaborasi”.
Konten yang termaktub dalam visi tersebut sangat jelas memperlihatkan harapan Jawa Barat ke depan dengan sasaran dua aspek fundamental; lahir dan batin. Era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan kematangan dan perkembangan teknologi-informasi, gelombangnya sudah tidak dapat dihentikan, bah kemajuan ini mengisi setiap sudut kehidupan dari perkotaan hingga perdesaan. Tidak ada cara dan upaya yang dapat dilakukan oleh siapapun untuk mengerem arus kemajuan, kecuali kita mengikuti arus tersebut, bila dimungkinkan berlayar di atasnya. Dengan mengedepankan inovasi dan kolaborasi di bidang-bidang itulah (teknologi dan informasi) warga Jawa Barat dapat mengarungi gelombang kemajuan.
Pandangan skeptis terhadap kemajuan dan arus dengan lompatan besar ini tidak akan membawa dampak apapun. Sebagai contoh, tidak jarang para orangtua, guru, dan tokoh agama mewanti-wanti terhadap serbuan arus globalisasi yang mulai tampak dan memiliki dampak pada dua dekade lalu. Skeptisisme ini lahir sebagai bentuk kehawatiran dari sebagian besar orangtua, guru, dan tokoh agama terhadap perubahan konstelasi dan tatanan nilai dalam kehidupan. Sebuah buku yang ditulis oleh John Naisbitt: Megatrends 2000 menjadi kajian popular oleh aktivis-aktivis kampus dan sekolah menengah atas. Buku yang menyoal bagaimana derasnya arus globalisasi hanya dipandang dari satu sudut: globalisasi merupakan banjir, orang-orang Timur akan terbawa hanyut dalam banjir besar tersebut. Bagi mereka yang memiliki sikap optimis, elaborasi Naisbitt ditafsirkan sebagai buku saku prediksi masa depan agar masa kini dipersiapkan dengan tepat.
Waktu tidak pernah menunggu, siapapun di jaman ini, generasi 80 dan 90an nyatanya memang hanyut dalam arus kemajuan dan globalisasi bahkan cenderung sangat menikmatinya. Ancaman yang selalu diwanti-wanti pada dua dekade lalu tersebut sama sekali tidak memengaruhi pola pikir manusia untuk melarutkan diri dalam kemajuan teknologi dan informasi. Faktanya, jika ditelaah secara jernih, kondisi antara hari ini dengan beberapa tahun lalu toch tetap sama, perubahan hanya terjadi dan berlangsung pada hal-hal yang ada di luar diri manusia saja. Artinya, manusia entah mereka generasi 80-an atau generasi modern secara tidak sadar akan mengadaptasikan diri dengan realitas di luar diri mereka. Dan pada akhirnya lingkungan - sebagaimana para penganut behaviorisme- akan direspon dan diinternalisasikan ke dalam diri manusia. Penggunaan gadget seperti smart-phone oleh anak-anak di era sekarang sebanding dengan anak-anak jaman old bermain-bermain dengan mobil-mobilan dua dekade lalu. Setiap era memiliki gadget-nya masing-masing.
Persoalan yang muncul adalah sikap para orangtua dan generasi old saat mendefisikan realitas hari ini dengan nostalgia masa lalu. Tidak sedikit di antara kita selalu membadingkan kehidupan saat kita anak-anak yang dipenuhi oleh berbagai permainan tradisional dengan kehidupan anak-anak sekarang yang akrab - bahkan lebih dekat daripada kepada orangtua – dengan ponsel cerdas dan permainan-permainan virtual. Melihat kondisi seperti ini, perbandingan dan tidak berbanding lurus para orangtua diisi oleh ceramah, mengisahkan nostalgia masa lalu mereka, dan menginternalisasikan realitas tahun 70 dan 80an kepada anak-anak, suatu kenyataan hidup yang tidak pernah dialami oleh anak-anak. Meskipun demikian, anak-anak sekarang tidak mengerti apa yang dibahas oleh orangtua mereka, tetapi bagi dunia orangtua diyakini bahwa menghadirkan masa lalu dalam cerita itu penting agar anak-anak tidak kehilangan informasi tentang masa kanak-kanak orangtua mereka. Apa bedanya dengan para sejarawan yang acap kali membeberkan prilaku masyarakat purba 13.000 tahun lalu saat revolusi pertanian mulai berlangsung? Bagi anak-anak tentu saja kisah masa lalu orangtua mereka dianggap membosankan karena bukan merupakan dunianya, sama halnya dengan para siswa yang kurang konsern mempelajari sejarah kehidupan nenek moyangnya.
- Gelar TTG di Kota Sukabumi Gubernur Jabar Tinjau Lokasi Stand
- Kota Sukabumi Juara Dua Teknologi Tepat Guna Inovasi Tingkat Jabar
- Gelar TTG Tingkat Jabar ke- IX dilaksanakan di Kota Sukabumi
Pada sisi lain ada pandangan menarik, justru para orangtua yang harus menyelami dunia kemajuan saat ini, orangtua harus lebih tahu dan menguasai kemajuan teknologi informasi dari anak-anaknya. Lahirlah keterpaksaan, saat orangtua memegang ponsel cerdas, pada akhirnya mereka larut juga pada tuhan baru tersebut. Coba kita lihat media sosial saat ini sudah pasti dipenuhi oleh orangtua yang berteman dengan anaknya sendiri atau orangtua yang memoles dirinya menjadi selebriti medsos. Tidak salah, ini hanya menguatkan bukti bahwa arus kemajuan teknologi dan informasi benar-benar sulit direm.
Kebijakan Politis Sekaligus Populis
Jabar Juara Lahir Batin sebagai visi Jawa Barat sudah tentu merupakan satu hal yang harus dibuktikan oleh Pemerintah Jawa Barat. Kang Emil dan Kang Uu selama seratus hari kerja sejak dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat mulai mengalihkan persneling kendaraan bernama Jawa Barat, mulai menginjak pedal gas, gambaran umum wilayah-wilayah Jawa Barat jika telah didesain infrastrukturnya ditampilkan dalam bentuk grafis, dilihat oleh para netizen bukan hanya dari Jawa Barat juga dari daerah lain. Desain-desain destinasi wisata, tata ruang, hingga tempat ibadah diperlihatkan oleh Pemerintah Jawa Barat. Tentu saja hal ini sebagai bentuk framing, branding, dan internalisasi visi agar warga Jabar dapat membayangkan masa depan provinsinya tampil seperti yang digrafiskan. Bagi Kang Emil dan Kang Uu menampilkan potret Jawa Barat seperti ini merupakan tuntutan dari janji kampanye yang disampaikan saat Pilkada lalu.
Setelah pedal gas diinjak, Jawa Barat menambahkan kembali sebuah tagline Jabar Ngabret *), jika diterjemahkan secara lugas tagline ini memiliki arti Jawa Barat harus berlari kencang. Tetapi tentu saja bukan ngabrut yang memiliki arti bergerak kasar sekehendak diri tanpa tujuan. Untuk menjawab tuntutan - baik secara politis atau populis - Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan Tim Percepatan Pembangunan, setiap kota dan kabupaten memiliki koordinator di wilayah masing-masing. Kota dan kabupaten di Jawa Barat juga membuat kebijakan serupa, Tim Percepatan Pembangunan Kota dan Kabupaten yang ditetapkan oleh masing-masing kepala daerah. Untuk kota dan kabupaten, penetapan tim percepatan pembangunan memiliki tugas dan tujuan tidak jauh berbeda dengan tim Jabar, mengakselerasi pembangunan di daerah secara tepat dan harus benar-benar ngabret!
Berbagai harian umum sering memberitakan Indonesia Emas 2045, Jawa Barat dan kota-kabupaten di wilayah ini memiliki pandangan yang sama. Penguasaan hingga penciptaan teknologi dan informasi kebaruan sebuah keharusan, mutlak dipenuhi oleh Jawa Barat untuk membawa provinsi ini kepada masa 25 tahun mendatang dari sekarang. Tahun 2019, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan Gelar Teknologi Tepat Guna di Kota Sukabumi. Berbagai produk hasil inovasi generasi muda dipamerkan dalam acara tersebut. Penyelenggaraan Gelar Teknologi Tepat Guna merupakan lahan penyemaian benih inovator di Jawa Barat. Ini merupakan langkah awal bagaimana sebetulnya inovasi yang selalu digaungkan oleh pemerintah diwujudkan ke dalam realita? Produk inovasi yang dihasilkan oleh para generasi muda di Jawa Barat memiliki varian, meskipun masih dalam bentuk inovasi bukan invensi paling tidak Jawa Barat telah memiliki benih unggulan yang harus dijaga agar selama 25 tahun mendatang hasilnya dapat dipanen.
Program selanjutnya Pemerintah Jawa Barat harus dipusatkan pada pembentukan karakter inovatif dan kolaborasi seluruh unsur. Kolaborasi merupakan rumus ampuh melahirkan cara baru, penemuan, hingga mencapai kemenangan. Kita harus meyakini, hanya manusia yang diberikan kemampuan berkolaborasi dan melakukan koordinasi dalam skala besar. Dunia binatang tidak mengenal ini, meskipun para lebah merupakan binatang sosial, tetapi kawanan lebah Sukabumi tidak mungkin melakukan kolaborasi dengan kawanan lebah Bandung. Lain halnya dengan manusia, warga Sukabumi dapat melakukan kolaborasi dengan warga Bandung, bukan hanya dalam skala kecil, kolaborasi dapat berlangsung dengan skala yang sangat besar. Kunci utamanya dengan mengedepankan kebersamaan, tidak merasa paling unggul, mengesampingkan ego kelompok dan golongan. Kolaborasi bukan semangat pasanggiri/perlombaan ngadu geulis **), ini merupakan semangat kebersamaan dalam mencapai tujuan.
Kita akan merenung, kenapa mayoritas orang Jepang dikatakan lebih dalam penguasaan teknologi jika dibandingkan dengan kita? Bukankah ukuran otak manusia Jepang dengan manusia Jawa Barat sama? Bukankah di Jawa Barat juga tidak sedikit manusia cekatan, parigel/multi-talenta, tidak berbeda dengan orang Jepang? Kuncinya terletak pada kolaborasi dan koordinasi skala besar dalam mewujudkan mimpi besar. Bukan angan-angan jika pada tahun 1945 Jepang benar-benar hancur kemudian selama tujuh dekade telah tampil sebagai raksasa teknologi dunia. Manusia Jepang dapat mewujudkan mimpi besar mereka dengan semangat kebersamaan. Kita dapat mencontoh sikap itu dari mereka.
*) Ngabret = Berlari kencang
**) Ngadu geulis = Adu kecantikan
Opini dipublikasikan di watyutink , Rabu, 21 Agustus 2019 dan Radar Sukabumi Jum'at, 23 Agustus 2019