Meskipun Virtual, Peringatan Hari Santri di Kota Sukabumi Tetap Khidmat



SUKABUMI--Wali Kota Sukabumi Achmad Fahmi dan Wakil Wali Kota Sukabumi Andri Setiawan Hamami mengikuti peringatan Hari Santri Nasional tingkat Kota Sukabumi tahun 2020 yang digelar secara virtual di Balai Kota Sukabumi, Kamis (22/10). Meskipun digelar secara virtual namun momen tersebut tidak mengurangi khidmatnya peringatan dalam menguatkan kecintaan pada santri serta pesantren.

Selain wali kota dan wakil wali kota, hadir secara langsung di Balai Kota Sukabumi Ketua Forum Komunikasi Ponpes Kota Sukabumi KH Fathullah Mansyur dan Kasubag TU Kementerian Agama Kota Sukabumi Rizal Yusuf Ramdhan. Sementara unsur Forkopimda Kota Sukabumi lainnya, pimpinan ponpes dan camat mengikuti secara virtual di tempatnya masing-masing.

'' Kita menyadari bahwa peringatan hari santri jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, apabila tahun lalu dilakukan dengan gebyar semarak dan penuh kekhidmatan,'' ujar Wali Kota Sukabumi, Achmad Fahmi setelah membacakan sambutan Menteri Agama dalam momen hari santri 2020. Namun tahun ini tengah pandemi harus digelar secara bijak sehingga dilakukan dengan virtual.

Akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi khidmatnya peringatan khususnya menguatkan kecintaan kepada ponpes dan santri. Pada momen itu Wali kota mengajak pimpinan ponpes berkolaborasi dalam membangun negeri, provinsi dan Sukabumi dengan kebersamaan.

'' Terimakasih kepada alim ulama dan pimpinan ponpes yang mendukung program Pemkot Sukabumi,'' kata Fahmi. Selain itu sesuai dengan tema peringatan hari santri 2020 yakni Santri Sehat Indonesia Kuat, maknanya sejalan dengan pandemi.

Santri ungkap Fahmi, harus tetap produktif dalam melakukan dakwah dan pendidikan kepada masyarakat. Khususnya dalam menyampaikan informasi protokol kesehatan dalam pencegahan Covid-19 agar Sukabumi cepat pulih dari pandemi.

Wali kota berpesan santri tetap semangat dan jadikan segala potensi terbaik di masa pandemi dan jangan lengah serta letih karena berbagai kebaikan harus disebarkan. Misalnya dengan mendukung keputusan dalam surat edaran wali kota bahwa setiap hari Jumat ditetapkan hari bersedekah tingkat Kota Sukabumi.

Dengan harapan ketika banyak bersedekah, maka akan menolak berbagai musibah yang senantiasa mengancam. Dalam surat edaran disebutkan pula selain sedekah, masjid yang melaksanakan shalat Jumat mendoakan secara khusus kota, provinsi dan negara pulih dari Covid-19.

Mudah- mudahan kata Fahmi, upaya ini akan menguatkan kebersaman mempercepat pulihnya Sukabumi dari pandemi. Ketua FKPP Kota Sukabumi KH Fathullah Mansyur mengatakan, santri dan kyai bukan hanya berperan dalam kemerdekaan tetapi memakmurkan negara.

Santri masuk dalam empat pilar pesantren yakni santri, kyai, masjid, dan masyarakat yang mendukung.


Tradisi Pesantren dan Santri
Oleh: Kang Warsa

Buku yang banyak mengupas tuntas tradisi kepesantrenan secara utuh dan detil karena dihasilkan dari proses penelitian -sejauh yang pernah saya baca- adalah Tradisi Pesantren karya Zamakhsyari Dhofier serta Kyai dan Perubahan Sosial karya Hiroko Horikoshi. Kedua buku tersebut telah dijadikan rujukan oleh berbagai kalangan baik digunakan sebagai referensi penelitian hingga menjadi buku rujukan dalam penelitian kepesantrenan.

Dhofier menyoal hal-hal penting yang harus dimiliki oleh sebuah pesantren, yaitu harus adanya ulama atau kyai dan santri, sementara Horikoshi memaparkan peran kyai sebagai entitas utama sebuah pondok pesantren dalam membangun masyarakat dan tradisi-tradisi baru di masyarakat tersebut. Pesantren merupakan sebuah lembaga keagamaan yang dipandang terpisah dari masyarakat namun dapat mewarnai masyarakat itu sendiri. Sebagai pranata keagamaan dan pendidikan, tradisi-tradisi baru telah dilahirkan melalui pondok pesantren. Sampai tahun 80-an kekuatan pesantren di Sukabumi dapat menjadikan idiom baru bagi daerah ini, Sukabumi merupakan kota santri.

Tidak hanya itu, akulturasi antara tradisi pesantren dan kebudayaan atau tradisi yang telah lama berkembang di masyarakat pun terus terjalin dan terjadi hingga sekarang. Panggilan akang atau kang bagi kyai dari santri dan masyarakat sekitar merupakan bentuk akulturasi itu. Kecuali itu, sesama santri juga sering memanggil kepada teman satu pondok atau satu kobongnya dengan sebutan amang atau mamang.

Akang dan Amang dalam Tradisi Pesantren

Di dalam tradisi Sunda, panggilan akang atau kang merupakan penuturan yang penuh sopan santun, tidak hanya diucapkan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua, orang yang lebih tua juga dapat menyebut akang atau kang kepada yang lebih muda. Dalam tradisi pesantren, sebutan akang atau kang kepada kyai merupakan bentuk penghormatan dari santri dan untuk kyai sendiri sebutan itu merupakan sikap rendah hati dirinya di hadapan masyarakat dan para santrinya.

Pengalaman penulis saat mengikuti pengajian di kampung sendiri saat masih kecil hampir seluruh masyarakat memanggil akang kepada Mualim Zakaria. Saat itu dalam benak saya hanya terpikir mungkin saja panggilan akang itu hanya merupakan panggilan dari orang yang lebih muda kepada kyai atau muallim. Setelah saya tanyakan langsung kepada beberapa orang, ternyata panggilan akang kepada kyai itu memang merupakan tradisi yang telah lama terjadi di pondok pesantren dan panggilan akang itu bukan hanya kepada yang lebih tua saja juga kepada para pengajar di pesantren atau pengajian yang lebih muda.

Bagi para kyai di berbagai pondok pesantren sebutan akang ini tentu saja telah menjadikan diri mereka sebagai orang yang benar-benar telah membaur dengan masyarakat. Para kyai sepuh yang memiliki kharisma merasa lebih nyaman dipanggil akang daripada sebutan ustadz atau ulama karena begitu berat sebutan itu disematkan kepada mereka yang telah kadung mengambil sikap tawadlu dalam hidupnya.

Jika para santri dan masyarakat memanggil akang kepada kyai, sementara itu sesama santri sendiri telah biasa menggunakan panggilan amang atau mamang. Dalam tradisi Sunda, amang atau mang sebelum kata ini mengalami perluasan makna adalah sebutan untuk adik laki-laki dari ayah atau ibu (paman). Sangat wajar jika sesama santri dan masyarakat menggunakan kata amang ini mengingat panggilan ini disematkan kepada garis keturunan secara horizontal atau tidak vertikal secara langsung. Seiring waktu berjalan, panggilan amang ini mengalami perluasan makna, masyarakat akan memanggil amang atau mang kepada pedagang apa saja.

Sejak satu setengah dekade ini, panggilan akang kepada kyai dan amang kepada sesama santri mulai memudar, kecuali masih berlangsung di pesantren-pesantren salafiyah di beberapa tempat. Masyarakat dan santri akan lebih nyaman memanggil ustadz, kyai, ulama, mama ajengan secara harfiyah kepada guru ngaji dan pengasuh pondok pesantren. Kyai-kyai muda hingga yang belum pernah mondok pun akan lebih suka dan menerima dirinya dipanggil ustadz oleh masyarakat, tentu saja dengan penuh kesadaran jika sebutan itu merupakan beban berat.

Santri di Era Milenial

Membicarakan pesantren dan santri memang tidak akan pernah ada habisnya, tidak pernah usang selama pranata pendidikan keagamaan ini tetap bertahan.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Penetapan ini dilatarbelakangi oleh semangat Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh K.H Hasyim Asy'ari bersama sejumlah kyai besar lainnya. Bukan hanya itu, penetapan hari santri tidak terlepas dari peran santri dan pesantren sebagai dua entitas transformasi ilmu pengetahuan dan 'pendobrak' jendela masuknya Negara ini ke alam kemerdekaan.

Sejarah telah mencatat, negara ini pernah memiliki tokoh-tokoh besar dan tidak sekadar dibesar-besarkan. Hadratus-syaikh Mbah Hasyim, KH. Ahmad Dahlan, dan A. Hasan. Ketiga tokoh ini merupakan sederetan ulama dengan basis kesantrian yang telah berhasil membuka cakrawala dialog baik secara internal antar umat juga secara eksternal dengan umat lain yang ada di negara ini.

Pemikiran besar ketiga tokoh ini sulit untuk diilustrasikan dengan kalimat apapun yang jelas hal paling penting yang patut dicontoh oleh siapapun dari mereka tidak pernah keluar saling menyalahkan. Pandangan-pandangan selalu dilakukan secara dialogis. Rasanya Islam dan keislaman Indonesia sulit untuk berkembang jika ketiga tokoh ini lebih memilih bersikap ekslusif terhadap pemikiran masing-masing.

Ketiga tokoh ini mendirikan pranata keagamaan (organisasi keagamaan) bukan didasari oleh semangat mendirikan perpecahan (firqah). Pendirian tiga organisasi bersar; NU, Muhamadiyah, dan Persis dilatarbelakangi oleh semangat keilmuan semata di mana Islam dan ajarannya harus ditranformasikan berdasarkan tempat, milieu, dan basis cara pandang umat.

Nahdlatul Ulama lahir untuk menjawab bagaimana tranformasi ajaran Islam dilakukan kepada masyarakat akar rumput (tradisional). Sudah tentu, para kyai dan ulama yang berada di barisan NU ini cenderung menyampaikan pandangan-pandangan dan ajaran Islam secara sederhana kepada masyarakat. Agar masyarakat mudah memahami ajaran, tidak bertele-tele dan bergelut dengan dalil-dalil, sangat praksis.

Meskipun cara penyebaran atau tranformasi keislaman kepada masyarakat (kaum tradisional) dilakukan oleh para kyai NU secara sederhana tetapi melalui pendirian pondok-pondok pesantren telah diterapkan standar yang cukup ketat ketika tranformasi Islam tersebut dilakukan kepada para santri. Dhofier (2011) dalam Tradisi Pesantren menyebutkan bagaimana juga pesantren merupakan lembaga tersendiri meskipun bersentuhan langsung dengan masyarakat tetapi memiliki tradisi tersendiri.

Metodologi tranformasi keislaman yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan sudah tentu berbeda dengan para kyai Nahdlatul Ulama. Muhamadiyah didirikan untuk menjawab persoalan kaum perkotaan (urban) waktu itu. Tranformasi keislaman dilakukan melalui pendekatan dialogis dan mengutarakan dalil-dalil bahkan retorika sebab seperti itulah ciri masyarakat perkotaan. Pendidikan menjadi sasaran utama pendirian Muhamadiyah ini.

Melihat fakta sejarah seperti di atas, adalah sangat wajar jika tokoh-tokoh besar seperti Mbah Hasyim dan Kyai Dahlan telah dapat mencetak banyak santri yang tidak kalah kualitasnya dari kedua tokoh ini. Hal yang patut dicontoh dari tokoh-tokoh besar terutama para kyai dan santri di negara ini adalah semangat toleransi dan keterbukaan mereka terhadap pemikiran. Orang-orang besar yang telah mendirikan organisasi besar memang selalu bersikap saling perduli dan tidak merasa "guminter" atas tokoh lainnya. Untuk itulah, Hiroko Horikoshi menyebutkan bahwa kyai –santri memiliki peran besar terhadap perubahan sosial dan kultural di masyarakat ini.

Konsekwensi sederhana dari pengalaman kebangsaan para tokoh besar bagi para santri di era milenial seperti sekarang yaitu sikap ittiba' terhadap cara-cara dan prilaku yang telah dicontohkan oleh mereka. Minimal dapat mengakui secara obyektif terhadap peran orang lain yang telah mentranformasikan keislaman di negara ini. Para santri tidak pernah dituntut oleh para kyai agar 'grasa-grusu' dalam menilai fenomena sosial yang bersifat dinamis. Pintu dialog harus tetap dipilih untuk mengahasilan pandangan dan pikiran yang lebih jernih.

Gus Dur (alm) dapat dijadikan rujukan oleh para santri bagaimana beliau menekankan pentingnya kecerdasan emosional dan spiritual dalam menghadapi setiap fenomena sosial dan kultural yang selalu bersifat dinasmis, labil, dan cenderung semakin kompleks. Kalimat "Gitu aja kok repot.." merupakan ajakan dari seorang Gus Dur untuk bersikap selalu tenang, lembut, dan berpikir sebelum bertindak. Apalagi di era milenial yang memiliki ciri; labil, penuh ketidakpastian, kompleks, dan ketidakjelasan ini sudah tentu para santri dituntut agar mendahulukan sikap 'tabayun' dan berpikir jernih terhadap persoalan yang ada.

Dari sisi penguasaan teknologi dan informasi pun perlu peningkatan yang lebih terarah. Pesantren tentu saja bukan sekadar lembaga yang hanya mengasilkan kaum sarungan yang hanya memahami ilmu-ilmu kegamaan saja, juga diharapkan mampu menguasai berbagai hal bersifat kekinian. Ulama-ulama terdahulu (salaf) patut dijadikan rujukan dalam hal ini. Imam Al-Ghazali tidak sekadar memahami satu bidang ilmu, beliau menguasai filsafat, kedokteran, fiqh, matematika, dan sejumlah ilmu terapan lainnya.

Posting Komentar untuk "Meskipun Virtual, Peringatan Hari Santri di Kota Sukabumi Tetap Khidmat"