Transformasi Lebaran Kembali ke Fitrah



Kata Lebaran merupakan vernakularisasi terhadap hari raya Idul Fitri, kemungkinan besar, telah berlangsung sejak Islam disebarkan secara komunal-konstitusional di Nusantara. Secara etimologi, Lebaran berasal dari kata “Lubar” berarti habis, terbebas dari ikatan dan kemelekatan, atau hilang. Pendekatan secara etimologi ini menjadi dasar pendefinisian atau terminologi lebaran yang memiliki arti terbebasnya manusia dari kesalahan atau kembali kepada kondisi semula atau azali.

Vernakularisasi atau pemakaian kata-kata serapan yang berakar dari lingua-franca dan bahasa pergaulan di Nusantara ke dalam ajaran Islam merupakan inovasi para penyebar Islam agar terma-terma dalam keagaman dapat dicerna dengan mudah oleh masyarakat (komunitas muslim awal). Tidak hanya kata lebaran saja, kata dan istilah lain seperti sembahyang, puasa, langgar, gusti, pangeran, surga, neraka, pahala, dan sejenisnya merupakan contoh lain vernakularisasi.

Setiap muslim meyakini bahwa Idul Fitri berarti kembali kepada kesucian setelah mereka menunaikan puasa di bulan Ramadan. Idul Fitri sendiri, semula, memiliki arti umat Islam dapat kembali melaksanakan makan di pagi hari. Sejalan perkembangan, pemaknaan Idul Fitri mengalami perluasan makna menjadi kembali kepada kesucian.

Pemaknaan tersebut muncul dengan menyandarkan situasi lebaran terhadap salah satu hadits: siapa saja yang menunaikan puasa di siang hari dan salat di malam hari dengan dasar iman dan sungguh-sungguh maka akan keluar dari dosa-dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan. Pemaknaan “kembali kepada kesucian” terhadap Idul Fitri ini dipegang teguh oleh umat Islam sampai sekarang.

Perluasan makna lain terhadap Idul Fitri yaitu hari kemenangan. Atas dasar itulah khusus untuk di Indonesia menjelang, di saat, dan setelah perayaan lebaran ungkapan minal aidin wal faizin biasa digunakan oleh umat Islam baik dalam penuturan atau tulisan. Ungkapan ini berarti kembali ke awal dan mendapatkan kemenangan.

Perluasan makna “hari kemenangan” sebagai salah satu sebutan untuk Idul Fitri disandarkan terhadap peristiwa sejarah “Perang Badar” yang terjadi bertepatan dengan bulan Ramadan dan umat Islam mendapatkan kemenangan besar saat itu. Al-Quran mengisahkan dengan ungkapan “Yaumal Taqal Jam’ani”, hari pertemuan dua komunitas (perkumpulan) yaitu komunitas muslim dan musyrik Mekah. Namun,peristiwa Badar diklasifikasikan sebagai perang kecil oleh Rasulullah, perang besar justru akan selalu berkecamuk di dalam diri manusia, perlawanan manusia dalam mengendalikan nafsu, ego, dan ahamkara.

Varian pemaknaan terhadap Idul Fitri ini telah mengakar dan menjadi landasan tradisi masyarakat selama lebaran. Kembali lagi dapat makan di pagi hari diwujudkan dalam tradisi makan bersama keluarga dan handai taulan. Berbagai penganan seperti ketupat, opor, gulai, semur, dan kue dihidangkan. Umat Islam bersuka cita menikmati makanan-makanan ini, bahkan setiap rumah yang dikunjungi pemiliknya menawarkan kepada tamu agar makanan yang dihidangkan ini dicicipi terlebih dahulu. Sebelum menunaikan salat Idul Fitri, umat Islam disunahkan mengonsumsi makanan terlebih dahulu.

Setelah melaksanakan tradisi sungkeman dan ziarah ke makam, tidak cukup hanya menikmati makanan di rumah, umat Islam (di Sukabumi) terlihat meramaikan warung bakso dan mie ayam. Seorang pedagang bakso pernah berkata kepada penulis, alhamdulillah.. lebaran tahun ini omzet per hari cukup besar dibanding dua tahun sebelumnya (karena pandemi).

Hari kembali kepada kesucian atau lubar (bebas dan bersih dari kesalahan) diwujudkan melalui tradisi sungkeman dan saling memaafkan antar sesama. Tradisi bersalaman dan saling memaafkan ini dilakukan tidak hanya dengan cara saling berkunjung, juga dilakukan di masjid atau lapangan setelah selesai salat dan khutbah Idul Fitri. Siapapun meyakini, lebaran adalah sarana pembebasan dari kesalahan.

Bentuk pengejawantahan terhadap makna hari kemenangan diperlihatkan oleh umat Islam melalui suka cita mereka dengan tradisi berbagi uang, makanan, parcel, dan bentuk kebahagiaan lainnya. Tradisi ini telah berlangsung sejak fajar Islam terbit di Nusantara. Tradisi lain sebagai wujud suka cita kemenangan yaitu pakaian baru. Tua muda, anak dan dewasa memakai baju baru. Dalam tradisi Sunda kontemporer disebut dengan istilah “baju dulag”. Bahkan pelaksanaan takbiran, ngadulag, dan membakar petasan pun merupakan ekspresi kemenangan di malam lebaran.

Hakikat Lebaran

Ali Shariati pernah menulis sebuah buku berjudul Makna Haji. Buku tersebut menguraikan hakikat setiap kaifiat pelaksanaan ibadah haji. Hakikat merupakan makna hakiki atau ajeg dari setiap peristiwa. Bukan hanya ibadah mahdhah, setiap kejadian dan peristiwa yang menyertai kehidupan manusia selalu menyimpan makna hakiki namun tersembunyi. Tanpa kecuali terhadap peristiwa lebaran.

Setelah menunaikan puasa, salah satu ibadah mahdhah yang menuntut kejujuran karena benar-benar bersifat personal, umat Islam kemudian memasuki hari raya Idul Fitri, muamalah yang benar-benar berbeda secara diametral dengan puasa. Lebaran menuntut umat Islam memperlihatkan suka cita kepada siapapun, seolah-olah kebahagiaan harus diumbar. Sementara puasa dan ibadah lain selama Ramadan menuntut umat Islam benar-benar menempatkan mereka pada ruang sunyi. Berbanding lurus dengan makna puasa atau shaum yaitu menahan dari setiap perbuatan tidak baik.

Kendati demikian, hakikat lebaran yang sebenarnya adalah keharuan dan kesedihan. Seorang muslim yang mampu membaca pertanda ini terlihat dari roman wajah sedih dan haru. Bayangkan, di satu sore menjelang lebaran, kita termenung di pinggir kampung sambil menikmati suasana alam, langit mulai semburat oleh lembayung, alunan takbir mulai dikumandangkan, dan bedug sudah ditabuh oleh anak-anak. Suasana ini justru menciptakan keharuan dan kesedihan. Jiwa kita seolah disayat-sayat oleh pisau waktu. Kognisi dan jalan pikiran kita melayang entah ke mana.

Begitu juga di saat hari raya Idul Fitri 1 Syawal, meskipun wajah mengekspresikan kebahagiaan hal yang harus hadir dalam diri kita adalah rasa haru dan sedih. Rasa ini biasanya muncul secara tiba-tiba tanpa perlu direka dan dicipta. Memang demikian, antara hal nyata dan hakikat sering tampak bertolak-belakang, antara ekspresi ke luar dan ke dalam diri sering saling kontradiktif.

Hal di atas tidak hanya berlaku bagi lebaran saja. Terhadap kematian juga manusia memiliki dua pemaknaan. Secara kasat mata, kematian berarti orang yang masih hidup ditinggalkan oleh hal-hal yang dicintainya, terpisah untuk selamanya, bunga darinya adalah kesedihan. Sedangkan jika dicerna secara baik, hakikat kematian berarti kebahagiaan, toh melalui cara meniggal dunia ini lah seseorang akan menemui Allah, Sang Kekasih.

Ilustrasi kematian ini tercermin dalam salah satu kisah sufistik. Menjelang ajal tiba, Rumi dikelilingi oleh murid-muridnya yang larut dalam suasana sedih dan pedih. Raungan tangis keluar dari mulut mereka. Hingga Rumi bertanya:

“ Ada apa ini, kenapa kalian menangis?”

“ Betapa kami sangat bersedih karena akan berpisah dengan tuan.” Jawab para murid.

“ Lha, bukankah dengan kematian ini Aku akan bertemu dengan Kekasihku (Allah). Aku akan berbahagia kenapa kalian tangisi? Ayo menarilah.. berbahagialah kalian. Sambutlah kematianku dengan riang!” Kemudian Sang Sufi pun meninggal dengan senyum bahagia.

Tentu saja, sebagai manusia biasa yang masih terjebak dalam kognisi nalariah manusiawi kita benar-benar mengalami kesulitan mencerna kematian harus disambut oleh sikap riang gembira. Apalagi ketika ada tetangga yang meninggal kemudian kita mengucapkan “selamat” kepada keluarganya sudah dipastikan orang-orang akan menuding kita sebagai manusia kurang waras. Hal ini berlaku juga terhadap hari kemenangan Idul Fitri namun harus disikapi oleh rasa haru dan sedih.

Oleh karena kita hanya manusia biasa, maka dalam menyambut peristiwa dan kejadian apapun selalu mendahulukan penilaian inderawi yang kasat mata. Kita selalu mengalami kesulitan untuk menyelami kedalaman samudera karena selalu cukup dengan memandang permukaan laut dengan ombaknya.

Dimuat Radar Sukabumi, Rabu 11 Mei 2022