Hal menarik yang ditemukan oleh salah seorang teman penulis, Tommy Ardhian di Depo Arsip Kota Sukabumi yaitu sebuah naskah lama berbentuk catatan dari seorang Belanda J.M Knaud. Naskah tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia di masa kepemimpinan Wali Kota Soejoed. Kendati merupakan catatan dan dengan penuturan deskriptif cukup panjang, kehadiran naskah ini patut dijadikan salah satu rujukan cerita yang berkembang di Sukabumi dalam perspektif Knaud, seorang arsitek yang menuturkan cerita berdasarkan pengalaman dan berdimensi semi ilmiah.
Tidak sekadar dongeng, meskipun rangkaian catatan tersebut disandarkan pada cerita-cerita lama yang berkembang di Sukabumi, namun melalui penuturan bergenre tulisan popular pada masanya, obyek-obyek dalam catatan tersebut dapat dengan mudah dicerna dan tidak menutup peluang untuk dituturkan kembali oleh siapapun, terutama pihak yang memiliki akses terhadap arsip tentang Sukabumian.
Salah satu babak cerita dalam naskah berjudul Herinneringen Aan Soeka Boemi (Sukabumi dalam Kenangan) telah ditulis oleh teman saya (Tomy Ardhian), dan menurut penuturannya, catatan-catatan J.M Knaud ini akan dipublikasikan secara bertahap. Memang sudah seharusnya, arsip masa lalu mengenai Sukabumi terdokumentasikan dan terpublikasikan terutama oleh lembaga resmi pemerintah. Hal tersebut dapat menambah nilai lebih terhadap keberadaan Kota Sukabumi pada sisi literasi. Menuturkan dan meriwayatkan cerita merupakan tradisi lisan di jaman prainternet, dan ketika era telah memasuki dunia digital, maka penuturan kisah dan cerita dapat memfungsikan saluran-saluran digital tanpa kecuali situs web dan blog.
Penulis tidak akan terlalu jauh memaparkan ulang apa yang diceritakan oleh Knaud tentang Sukabumi hingga membentuk kenangan dalam dirinya. Secara sosial kultural, keterikatan batin seorang Belanda dengan Sukabumi memang sulit melonggar apalagi lepas begitu saja. Dalam tradisi Sunda, siapapun yang pernah singgah dan mendiami tatar Pasundan dinyatakan jiwa dan raganya akan mengalami kesulitan untuk terlepas dari aura tatar Sunda. Entah karena keindahan alam, iklim kultural, dan mentalitas penduduknya yang ramah.
Maka dapat dibenarkan, Agresi Militer Belanda di sejumlah wilayah Indonesia, tanpa kecuali Sukabumi, merupakan sikap ketidakrelaan Belanda untuk melepaskan tanah-tanah yang telah begitu mengikat kehidupan mereka di Hindia Belanda dalam waktu lama. Sukabumi digambarkan oleh Belanda sebagai: “Permata Kami Yang Paling Berharga..”. Sayangnya, dalam pandangan Dekker dalam Multatuli, Nusantara juga merupakan negeri yang telah lama begitu menderita.
Sukabumi dalam Ingatanku
Jika saja setiap jemari tangan orang-orang Sukabumi secara suka rela dapat mengetikkan kisah perjalanan hidupnya, entah sudah jutaan lembar dan halaman buku memuat beragam kisah Sukabumi dari berbagai sudut pandang dan perspektif. Hanya saja, karena menulis merupakan bidang pekerjaan teramat berat, maka sangat sedikit sekali literatur yang membahas Sukabumi dari berbagai sudut pandang.
Kita hanya menemukan kisah Sukabumi melalui perspektif sejarah, reportase, dan arsip-arsip nonaktif saja. Membongkar ingatan bukan perkara mudah apalagi harus dituangkan ke dalam bentuk tulisan karena memerlukan daya dukung (piranti lunak), sel-sel dalam otak memformulasi cerita dan memberikan perintah kepada mulut atau tangan untuk memindahkan berkas-berkas neurotik ke dalam abjad atau kata. Memerlukan algoritma yang tidak sederhana.
Setiap orang memiliki kenangan karena begitulah peran otak sebagai penampung berkas pengalaman. Dan harus dimafhumi, kenangan dan ingatan setiap orang terhadap Sukabumi, tempat kelahirannya, sudah tentu berbeda-beda, sangat besar dipengaruhi oleh latar belakang seseorang. Seseorang yang dilahirkan di wilayah pinggiran Sukabumi (perdesaan), dia akan mengingat Sukabumi dalam perspektif perdesaan, dia akan menceritakan kepada generasi sekarang dengan intonasi, misalnya, “Dulu, ketika bapak masih kecil, tempat ini merupakan hamparan persawahan, berbeda dengan sekarang yang telah disesaki oleh bangunan-bangunan..”. Bahkan, orang kota yang sejak kecil tinggal di daerah perkotaan pun sering mengatakan perubahan benar-benar terjadi sekalipun di daerah urban.
Hampir mirip dengan satu pengalaman spiritual, biasanya setiap orang memiliki sensasi pengalaman berbeda-beda. Bahkan, para nabi dan rasul saja mengalami pengalaman spiritual berbeda-beda saat menerima kehadiran Yang Ilahi. Masyarakat urban perkotaan yang mengalami masa kecil di daerah kota , di lingkungan urban –yang memang- telah padat oleh hunian, pusat perbelanjaan, dan hiburan, cenderung menyoal bagaimana seharusnya Sukabumi ini ditata secara holistik. Keterlibatan masyarakat dan daya dukung anggaran dari pemerintah terlihat menjadi tajuk perbincaangan masyarakat berlatar belakang urban.
Knaud memiliki alasan tersendiri kenapa menulis catatan Sukabumi dalam Kenangan, Selain sebagai transmisi pengalaman dan pengetahuan juga menjadi bukti bahwa sebutan Sukabumi sebagai kota kecil sejuta cerita bukan sekadar omong kosong belaka. Banyak kisah yang dapat dituturkan namun luput dari tajuk perbincangan.
Sangat lazim jika seorang warga Sukabumi menceritakan pengalaman hidupnya setelah selama berpuluh tahun tinggal di daerah ini. Dan sangat lumrah ketika seseorang yang telah membersamai Sukabumi selama –misalnya setengah abad lebih– kemudian mengambil tindakan komparatif, membandingkan alam di masa kecil, remaja, dan dewasa baik terhadap lingkungan sosial, natural, dan kultural Sukabumi.
Sukabumi sebagai banjar karang pamidangan sudah selaiknya dibangun di atas pondasi romantisme sebagai bentuk apresiasi terhadap apa yang telah dikerjakan oleh setiap orang baik untuk dirinya atau untuk tempat kelahirannya. Sebagai wilayah urban, Kota Sukabumi telah menjadi magnet penarik bagi siapapun.
Bagi kaum milenial akan terdengar sangat aneh ketika disebutkan, pada dekade keempat pascakemerdekaan banya orang dari luar kota, misalnya dari pelosok kabupaten Sukabumi, mengunjungi Kota Sukabumi sekadar untuk melihat-lihat Lapang Merdeka, Jalan Raya, pertokoan, dan tempat-tempat lainnya. Penulis masih mengingat dengan apik, ketika kecil diajak oleh orangtua ke Jalan Raya. Bukan hanya takjub, lebih tepat disebut shock dan terkejut saat untuk pertama kali melihat fenomena kota.
Tahun 80-an, hanya baru beberapa perkampungan yang sudah tersentuh oleh program penerangan (PLN). Sementara kota telah dilengkapi oleh lampu-lampu neon yang dinyalakan di beberapa toko meskipun hari masih siang. Suara musik berasal dari toko kaset mengangkat angan-angan saya dengan berandai-andai menjadi orang kota atau tinggal di lingkungan perkotaan, segalanya terlihat serba enak dan mudah. Tidak seperti di tempat kelahiranku di kampung, menyalakan petromaks harus memompanya terlebih dahulu, lampu-lampu di kota dinyalakan hanya dengan menekan tombol saklar. Sungguh enak sekali jadi orang kota, pikir saya saat itu.
Perjalanan yang ditempuh dari tempat tinggal ke Kota Sukabumi memang tidak memerlukan waktu lama, hanya sepuluh sampai lima belas menit saja dengan mengendarai angkutan umum. Namun, jangan ditanya bagaimana mekanisme dan cara kerja angkutan perkotaan tahun 80-an dalam mengangkut penumpang. Para sopir angkutan umum tidak ingin rugi, untuk alasan itulah kendaraan baru mulai bergerak ketika penumpang telah memenuhi kursi kendaraan. Jadi, untuk sampai ke tujuan, Kota Sukabumi dengan segudang keharubiruannya, waktu yang diperlukan sebetulnya dapat mencapai satu sampai satu setengah jam.
Penemuan mesin sejak era James Watt hingga saat itu merupakan lompatan besar di bidang mekanik. Mesin yang tertanam dalam kendaraan secara tidak langsung dapat membuka mata orang-orang yang tinggal di perkampungan untuk melihat gemerlap kota dan kerlip lampu perkotaan yang warna-warni. Kendaraan juga telah mengubah kesadaran manusia kampung terhadap pentingnya memahami gerak semu benda. Penulis tidak dapat menyembunyikan rasa heran saat berada di dalam angkutan umum, pepohonan dan tiang listrik-telepon sepanjang jalan itu berlari cepat menjauh. Padahal, pengalaman seperti itu sudah biasa dialami ketika melihat bulan seolah bergerak mengikuti ke arah mana saja penulis berjalan.
Kota Sukabumi adalah magnet penarik bagi masyarakat perdesaan. Sampai akhir dekade 90-an, istilah kota bagi masyarakat perdesaan bukan sekadar sebagai sebuah wilayah administratif di luar desa. Kota dipandang sebagai satu tempat penyedia keperluan apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat. Meskipun faktanya, kebutuhan pokok justru tersedia di wilayah perdesaan. Kota hanya sebagai tempat transit barang-barang produksi yang harus didistribusikan kepada konsumen.
Tetapi kognisi masyarakat perdesaan tidak demikian dalam memandang kota. Orang-orang perdesaan memandang kota sebagai tujuan penting, paling tidak setiap menjelang lebaran dan di hari raya mereka mesti mengunjunginya. Melihat pernak-pernik kota, mengamati papan reklame berukuran besar yang belum pernah ditemui di daerah mereka, melihat secara saksama baligo-baligo jadwal putar film di depan bioskop, dan sekadar berkerumun saja di tengah keriuhan pengunjung. Lihatlah, sebelum era reformasi, setiap hari raya Idul Fitri, kota Sukabumi ramai dikunjungi oleh anak-anak dari daerah perdesaan. Begitulah kota telah menceritakan dirinya sendiri dan selalu harus merasa lebih “wah” dari desa dan kampung.
Dipublikasikan oleh Radar Sukabumi, 10 Maret 2022