Wali Kota Sukabumi, H. Ayep Zaki, bersama Ketua DPRD Kota Sukabumi, Wawan Juanda, serta Pejabat Sekretaris Daerah Kota Sukabumi, M. Hasan Asari, menghadiri peluncuran indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Acara yang berlangsung secara virtual pada Rabu, 5 Maret 2025, di Ruang Pertemuan Setda Kota Sukabumi ini juga diikuti oleh para kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Dalam sambutannya, Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Irjen Kemendagri), Sang Made Mahendra Jaya, menekankan bahwa MCP merupakan instrumen penting dalam meningkatkan tata kelola pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabel.
Sejak 2018, MCP menjadi bagian dari strategi sinergis antara KPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Kemendagri dalam memperkuat pengawasan dan pencegahan korupsi di daerah.
Berdasarkan data KPK dari tahun 2004 hingga 2024, sekitar 38% kasus korupsi yang ditangani terjadi di tingkat kabupaten dan kota, sedangkan 13,2% terjadi di tingkat provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan daerah masih menghadapi tantangan serius dalam mewujudkan sistem yang bersih dan bebas korupsi.
Oleh karena itu, evaluasi terhadap MCP terus dilakukan agar program ini tidak hanya menjadi sekadar formalitas, melainkan benar-benar mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
Dalam peluncuran MCP 2025 ini, peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) kembali menjadi sorotan. APIP dinilai memiliki tanggung jawab strategis dalam memastikan tata kelola pemerintahan daerah berjalan sesuai aturan.
Namun, berbagai kendala masih dihadapi, seperti belum maksimalnya APIP dalam melaporkan temuan kepada kepala daerah atau mitra kerja mereka. Oleh karena itu, Kemendagri dan KPK mendorong agar APIP lebih berani dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Jika terjadi intervensi dalam pengawasan, APIP diharapkan segera melaporkan kepada pimpinan KPK atau Kemendagri.
Selain itu, peningkatan kapasitas APIP juga menjadi perhatian, baik dalam aspek sumber daya manusia, anggaran, maupun kelembagaan. Penguatan peran APIP tidak hanya sebatas pengawasan internal, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam menjaga efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran daerah.
Dalam implementasi MCP 2025, delapan area intervensi menjadi fokus utama dalam upaya pencegahan korupsi, yaitu perencanaan, penyusunan anggaran, pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, manajemen aparatur sipil negara (ASN), pengelolaan barang milik daerah, optimalisasi pendapatan daerah, dan penguatan APIP.
Setiap daerah diwajibkan untuk mematuhi regulasi dalam MCP guna meningkatkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Namun, berbagai persoalan masih menjadi tantangan, seperti kebocoran pendapatan daerah, belanja birokrasi yang tidak efisien, serta kelemahan dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Salah satu tantangan utama dalam pengawasan daerah adalah minimnya alokasi anggaran untuk fungsi pengawasan. Idealnya, anggaran pengawasan daerah dialokasikan sebesar 0,50% hingga 1% dari total anggaran untuk kabupaten/kota dan 0,30% hingga 0,90% untuk provinsi.
Di sektor perizinan, sistem Online Single Submission (OSS) masih menghadapi berbagai kendala yang perlu diperbaiki agar proses perizinan menjadi lebih cepat, transparan, dan akuntabel. Dengan optimalisasi MCP, diharapkan setiap daerah dapat lebih baik dalam mengidentifikasi risiko korupsi serta meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan dan perizinan.
Deputi PPKD BPKP, Raden Suhartono, dalam paparannya menyoroti tantangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama terkait penerimaan daerah dan pengelolaan keuangan.
Salah satu permasalahan yang ditemukan adalah penetapan target pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak mempertimbangkan potensi ekonomi yang ada, serta masih adanya manipulasi data dalam pencatatan pendapatan daerah.
Selain itu, ketergantungan terhadap dana transfer daerah juga menjadi perhatian, karena berisiko memunculkan penyalahgunaan wewenang dalam pengalokasiannya.
Masalah pengelolaan BUMD juga menjadi fokus dalam evaluasi MCP. Dari 1.156 BUMD yang ada, sebanyak 291 mengalami kerugian, menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan daerah masih perlu perbaikan signifikan.
Selain itu, sektor belanja daerah juga masih diwarnai dengan program-program yang dianggarkan tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang sebenarnya, serta risiko dalam pengadaan barang dan jasa yang masih rawan rekayasa lelang dan mark-up.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam arahannya menegaskan bahwa pencegahan korupsi harus menjadi prioritas utama dalam tata kelola pemerintahan daerah. Ia menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya berfokus pada penindakan, tetapi juga harus mengutamakan pencegahan sebagai strategi utama.
Menurutnya, pencegahan yang efektif dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni pendekatan sistem, pendekatan regulasi, dan pendekatan penghapusan peluang korupsi.
Ia juga menyoroti bahwa korupsi sering terjadi bukan hanya karena lemahnya integritas individu, tetapi juga karena adanya kesempatan yang memungkinkan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, sistem dan regulasi harus diperkuat agar celah korupsi dapat diminimalkan.
Sebagai langkah konkret, KPK akan terus melakukan pendampingan kepada pemerintah daerah melalui berbagai kegiatan, seperti rapat koordinasi pemberantasan korupsi daerah (RAKORDA), diseminasi pedoman MCP 2025, serta koordinasi pemantauan pencegahan korupsi di delapan area MCP. Selain itu, KPK membuka ruang konsultasi bagi kepala daerah yang ingin memperbaiki tata kelola pemerintahan yang berisiko korupsi.
Dengan adanya peluncuran indikator MCP 2025 ini, pemerintah daerah, termasuk Kota Sukabumi, diharapkan semakin berkomitmen dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan. Implementasi MCP yang efektif bukan hanya sekadar memenuhi kewajiban administratif, tetapi juga harus memberikan dampak nyata dalam menekan potensi korupsi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam sambutannya, Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Irjen Kemendagri), Sang Made Mahendra Jaya, menekankan bahwa MCP merupakan instrumen penting dalam meningkatkan tata kelola pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabel.
Sejak 2018, MCP menjadi bagian dari strategi sinergis antara KPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Kemendagri dalam memperkuat pengawasan dan pencegahan korupsi di daerah.
Berdasarkan data KPK dari tahun 2004 hingga 2024, sekitar 38% kasus korupsi yang ditangani terjadi di tingkat kabupaten dan kota, sedangkan 13,2% terjadi di tingkat provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan daerah masih menghadapi tantangan serius dalam mewujudkan sistem yang bersih dan bebas korupsi.
Oleh karena itu, evaluasi terhadap MCP terus dilakukan agar program ini tidak hanya menjadi sekadar formalitas, melainkan benar-benar mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
Dalam peluncuran MCP 2025 ini, peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) kembali menjadi sorotan. APIP dinilai memiliki tanggung jawab strategis dalam memastikan tata kelola pemerintahan daerah berjalan sesuai aturan.
Namun, berbagai kendala masih dihadapi, seperti belum maksimalnya APIP dalam melaporkan temuan kepada kepala daerah atau mitra kerja mereka. Oleh karena itu, Kemendagri dan KPK mendorong agar APIP lebih berani dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Jika terjadi intervensi dalam pengawasan, APIP diharapkan segera melaporkan kepada pimpinan KPK atau Kemendagri.
Selain itu, peningkatan kapasitas APIP juga menjadi perhatian, baik dalam aspek sumber daya manusia, anggaran, maupun kelembagaan. Penguatan peran APIP tidak hanya sebatas pengawasan internal, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam menjaga efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran daerah.
Dalam implementasi MCP 2025, delapan area intervensi menjadi fokus utama dalam upaya pencegahan korupsi, yaitu perencanaan, penyusunan anggaran, pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, manajemen aparatur sipil negara (ASN), pengelolaan barang milik daerah, optimalisasi pendapatan daerah, dan penguatan APIP.
Setiap daerah diwajibkan untuk mematuhi regulasi dalam MCP guna meningkatkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Namun, berbagai persoalan masih menjadi tantangan, seperti kebocoran pendapatan daerah, belanja birokrasi yang tidak efisien, serta kelemahan dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Salah satu tantangan utama dalam pengawasan daerah adalah minimnya alokasi anggaran untuk fungsi pengawasan. Idealnya, anggaran pengawasan daerah dialokasikan sebesar 0,50% hingga 1% dari total anggaran untuk kabupaten/kota dan 0,30% hingga 0,90% untuk provinsi.
Di sektor perizinan, sistem Online Single Submission (OSS) masih menghadapi berbagai kendala yang perlu diperbaiki agar proses perizinan menjadi lebih cepat, transparan, dan akuntabel. Dengan optimalisasi MCP, diharapkan setiap daerah dapat lebih baik dalam mengidentifikasi risiko korupsi serta meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan dan perizinan.
Deputi PPKD BPKP, Raden Suhartono, dalam paparannya menyoroti tantangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama terkait penerimaan daerah dan pengelolaan keuangan.
Salah satu permasalahan yang ditemukan adalah penetapan target pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak mempertimbangkan potensi ekonomi yang ada, serta masih adanya manipulasi data dalam pencatatan pendapatan daerah.
Selain itu, ketergantungan terhadap dana transfer daerah juga menjadi perhatian, karena berisiko memunculkan penyalahgunaan wewenang dalam pengalokasiannya.
Masalah pengelolaan BUMD juga menjadi fokus dalam evaluasi MCP. Dari 1.156 BUMD yang ada, sebanyak 291 mengalami kerugian, menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan daerah masih perlu perbaikan signifikan.
Selain itu, sektor belanja daerah juga masih diwarnai dengan program-program yang dianggarkan tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang sebenarnya, serta risiko dalam pengadaan barang dan jasa yang masih rawan rekayasa lelang dan mark-up.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam arahannya menegaskan bahwa pencegahan korupsi harus menjadi prioritas utama dalam tata kelola pemerintahan daerah. Ia menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya berfokus pada penindakan, tetapi juga harus mengutamakan pencegahan sebagai strategi utama.
Menurutnya, pencegahan yang efektif dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni pendekatan sistem, pendekatan regulasi, dan pendekatan penghapusan peluang korupsi.
Ia juga menyoroti bahwa korupsi sering terjadi bukan hanya karena lemahnya integritas individu, tetapi juga karena adanya kesempatan yang memungkinkan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, sistem dan regulasi harus diperkuat agar celah korupsi dapat diminimalkan.
Sebagai langkah konkret, KPK akan terus melakukan pendampingan kepada pemerintah daerah melalui berbagai kegiatan, seperti rapat koordinasi pemberantasan korupsi daerah (RAKORDA), diseminasi pedoman MCP 2025, serta koordinasi pemantauan pencegahan korupsi di delapan area MCP. Selain itu, KPK membuka ruang konsultasi bagi kepala daerah yang ingin memperbaiki tata kelola pemerintahan yang berisiko korupsi.
Dengan adanya peluncuran indikator MCP 2025 ini, pemerintah daerah, termasuk Kota Sukabumi, diharapkan semakin berkomitmen dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan. Implementasi MCP yang efektif bukan hanya sekadar memenuhi kewajiban administratif, tetapi juga harus memberikan dampak nyata dalam menekan potensi korupsi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pewarta :Kang Warsa
Dokumentasi : Fadhil
DOKPIM KOTA SUKABUMI
Pranata Kehumasan
Ross Pristianasari