Mewaspadai Gelombang Kedua Covid-19

Pandemi belum usai, pemerintah pusat hingga daerah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengantisipasi penularan virus korona gelombang kedua.




Suasana bulan Ramadan 1442 H jika dibandingkan dengan Ramadan sebelumnya dapat dikatakan hampir mirip. Umat Islam harus mengisi hari dan malam bulan yang diliputi oleh keberkahan ini dengan amaliah-amaliah yang mengacu pada penerapan protokol kesehatan maksimum. Kendati demikian, beberapa hari sebelum memasuki bulan Ramadan, Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan edaran: pelaksanaan salat Taraweh berjamaah di mesjid-mesjid di daerah zona hijau dibolehkan dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan maksimum.

Bukan hanya di tempat ibadah dan dalam pelaksanaan ritual keagamaann saja, pengetatan penerapan protokol kesehatan maksimum juga sudah seharusnya ditegakkan di ruang publik lain yang dapat mengundang kerumuman dalam skala besar seperti swalayan, pasar tradisional, ruas jalan utama, pasar kaget atau pasar tumpah selama Ramadan, dan ruang terbuka lain yang dimungkinkan akan ramai menjelang lebaran.

Penerapan protokol kesehatan maksimum disebabkan oleh alasan mendasar, sampai saat ini penularan virus korona masih berlangsung. Beberapa hari lalu, kluster baru rumah ibadah di Banyumas mengharuskan pemerintah setempat menghentikan aktivitas beribadah dalam jangka waktu tertentu.

Serbuan Gelombang Kedua

Menelaah beberapa wabah yang pernah terjadi di dunia, manusia di zaman sekarang sudah semestinya berpikir lebih rasional. Pertama, bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh wabah berdasarkan sejarahnya, tidak mudah pulih dalam waktu singkat. Sebagai contoh; maut hitam di akhir abad pertengahan yang diakibatkan oleh bakteri Yersenia Pestis baru pulih sekitar delapan tahun setelah penyebarannya di Eropa dan wilayah-wilayah terdekat.

Kedua, lama waktu pemulihan wabah ditentukan oleh keseriusan pemerintah dan masyarakat dalam melawan penyebaran penyebab timbulnya wabah di samping pemulihan di berbagai sektor kehidupan. Wabah hitam atau black death di Eropa dapat dihentikan setelah pemerintah dan masyarakat benar-benar menerapkan standar kesehatan maksimum, memperbaiki sanitasi lingkungan, dan membentuk kesadaran serta kewaspadaan baru terhadap peningkatan disiplin ilmu di bidang kesehatan.

Tahun 2020 dapat dikatakan sebagai tahun duka lara, dunia tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran virus korona yang telah meluluhlantakkan setiap fitur kehidupan terutama kesehatan dan perekonomian. Selama tahun 2020, sejak bulan Maret hingga Desember, relaksasi di berbagai kehidupan akibat dari pandemi dipandang dari berbagai aspek merupakan proses pendinginan dunia.

Gelombang pertama pandemi telah menyulap dunia yang dikendalikan oleh keangkuhan berbalut materi ke dalam kesadaran baru betapa ringkih kehidupan manusia meskipun hanya sekadar di hadapan mahluk renik bernama coronavirus diseases 2019.

Kasus kematian oleh virus korona di dunia telah mencapai 3,19 juta orang. Tidak pelak, Indonesia termasuk negara dengan penularan dan tingkat kematian signifikan dari beberapa negara lain. Jumlah pasien meninggal akibat virus korona telah mencapai 45 ribu orang lebih. Meskipun rasio angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan kematian oleh bencana kemanusiaan lainnya (misalnya kematian akibat Perang Dunia I dan II di awal abad ke-20), namun tetap dipandang sebagai pukulan telak bagi dunia modern yang seharunya dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk.

Pencapaian penemuan dan sejumlah rekayasa teknologi di berbagai bidang kehidupan sama sekali tidak mampu membaca gerakan alam yang bekerja secara spontan. Pada akhirnya, manusia modern juga hanya dapat mengikuti ke mana arah dan riak gelombang kosmik ini daripada mengendalikan apalagi melawannya.

Gelombang kedua pandemi Covid-19 diawali melalui gerakan vaksinasi di sejumlah negara. Setiap negara seolah berlomba-lomba untuk menjadi yang tercepat dan terbanyak melakukan vaksinasi kepada khayalak. Setiap orang ingin menjadi bagian dari sejarah dunia di milenium kedua, mendapatkan vaksin Covid-19. Euforia vaksinasi menjadi tanda paling kentara sebagai awal gelombang kedua penyebaran virus yang telah bermutasi.

Euforia vaksinasi telah melahirkan cara baru manusia dalam memandang pandemi; harus segera usai, ruang gerak penyebaran virus menjadi lebih sempit dari tahun sebelumnya, aktivitas dan mobilitas di sejumlah negara mulai meningkat kembali, manusia modern yang sebelumnya telah dituntut untuk bergerak bebas dan cepat kemudian dibatasi oleh kehadiran pandemi selama satu tahun, kini mulai kembali pada pikiran awal sekaligus azali dalam dirinya: manusia harus bergerak bebas.

Hanya menunggu waktu hitungan beberapa minggu pascavaksinasi serbuan gelombang kedua virus korona melanda India. Masyarakat di negara tersebut terjebak pada euforia vaksinasi. Kerumunan manusia di acara keagamanan, olahraga, dan pasar beberapa minggu sebelum serbuan gelombang kedua virus korona menerjang negara ini benar-benar memperlihatkan kenisbian manusia terhadap ikhtiar untuk menjaga dirinya sendiri.

Penerapan protokol kesehatan di India sangat minim, pada akhirnya virus korona yang telah bermutasi dua kali (double mutant) tersebut menulari orang-orang India hingga 340 ribu kasus positif perhari dengan kasus meninggal sebanyak 2 ribu orang. Apa yang terjadi di India akhirnya menjadi peringatan dini bagi seluruh dunia, meskipun gerakan vaksinasi telah mulai dilakukan tetapi vaksinasi ini sedang berlomba adu cepat dengan penyebaran virus korona generasi baru yang mulai menyebar di gelombang kedua.

Vaksin memang mampu meningkatkan imunitas tubuh, namun manusia modern harus tetap memandang secara jujur bahwa vaksin bukan obat penyembuh yang dapat menghindarkan manusia dari penularan virus. Apalagi jika memang benar cara kerja vaksin harus selalu mengikuti perkembangan (perubahan) virus itu sendiri. Artinya, apakah jenis vaksin generasi pertama ini akan mampu melakukan skrining terhadap jenis virus hasil dari mutasi?

Mewaspadai Migrasi Virus Mutan

Pemerintah Indonesia melalui tim gugus tugas pandemi Covid-19 telah mengeluarkan kebijakan, edaran, dan imbauan terhadap bahaya penularan virus korona hasil mutasi dari India. Aktivitas migrasi manusia dari dan ke India telah dihentikan untuk sementara. Memberikan peringatan dini kepada masyarakat bahwa penularan virus korona hasil mutasi ini lebih cepat dan rentan menjangkiti manusia daripada jenis virus 2019.

Momentum lebaran atau Idul Fitri 1442 H akan kembali memiliki kemiripan dengan satu tahun sebelumnya. Pemerintah telah meniadakan atau melarang tradisi pulang kampung atau mudik untuk mencegah mobilitas tinggi yang dimungkinkan dapat mejadi media efektif penyebaran virus korona. Kasus satu tahun lalu, saat aturan mudik sama sekali direspon negatif oleh masyarakat justru telah melahirkan kluster baru penyebaran virus.

Dengan terpaksa, tradisi mudik dan pulang kampung sulit dilakukan oleh masyarakat dari perkotaan ke perkampungan. Ruralisasi besar-besaran sebagai bentuk harapan mansyarakat setelah vaksinasi dapat saja kembali buyar di tahun ini. Kebijakan pemerintah ini tetap harus ditafsirkan sebagai sebuah ikhriat baik dalam menangani penularan dan riak gelombang kedua serbuah virus generasi kedua atau double mutant. Indonesia tentu saja tidak menginginkan peristiwa seperti di India tejadi di negara ini. Maka, sejumlah kebijakan dan penerapannya menjadi kata kunci penghentian gelombang kedua pandemi Covid-19.

Ikhtiar di Kota Sukabumi

Tidak berbeda dengan pemerintah pusat, selain menyegerakan vaksinasi, Pemerintah Kota Sukabumi juga secara telaten mensosialisasikan penerapan 3 M di masyarakat. Diakui oleh tim gugus tugas Covid-19 Kota Sukabumi, melalui gerakan 3 M inilah pandemi dapat diminimalisasi pergerakan dan penuarannya.

Kasus konfirmasi positif Covid-19 harian di Kota Sukabumi sampai akhir April 2021 ada pada kisaran angka 12-20 kasus positif. Rata-rata tersebut telah berkurang dari angka sebelumnya, apalagi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kasus positif yang dialami oleh masyarakat juga menunjukkan dua perbedaan mencolok yang ditandai dengan bergejala atau tidak bergejala. Sebanayak 60% kasus positif menunjukkan gejala dan 40% tidak memiliki gejala. Artinya, setiap orang dapat saja sedang positif Covid-19 meskipun tidak memperlihatkan gejala cukup signifikan.

Kelompok usia produktif menjadi penyumbang terbesar kasus konfirmasi positif Covid 19. Risiko kematian membayangi kelompok umur 50-80 tahun. Atas dasar itulah, vaksinasi kepada lansia lebih didahulukan oleh pemerintah daripada kepada kelompok umur 19-59 tahun.

Hal lain yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Sukabumi untuk mengantisipasi gelombang kedua serbuan virus korona yaitu; mengimbau masyarakat untuk menghindari acara di bulan Ramadan salah satunya buka puasa bersama, larangan mudik, optimalisasi pelacakan, dan mengaktifkan peran kader posyandu, posbindu, babin dan bhabinkamtibmas. Seluruh pihak selalu memiliki harapan: pandemi harus segera usai.

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Mewaspadai Gelombang Kedua Covid-19"