Wakil Wali Kota Sukabumi, Bobby Maulana, hadir sebagai keynote speaker dalam kegiatan lanjutan Pelatihan Hertech Perempuan Berdaya AI yang digelar oleh ICT Watch di Universitas Linggabuana, Sukabumi, Rabu (9/7/2025).
Dalam kegiatan bertajuk “Membangun Talenta Digital Inklusif untuk Masa Depan Berkeadilan”, Bobby menyampaikan pentingnya membangun ekosistem teknologi yang inklusif, berkeadilan, dan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
“Teknologi kecerdasan buatan bukan hanya soal mesin pintar, tetapi juga tentang siapa yang mengendalikannya dan siapa yang mendapatkan manfaatnya,” tegas Bobby di hadapan peserta yang sebagian besar merupakan mahasiswa dan penggiat literasi digital.
Ia menjelaskan bahwa AI kini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mulai dari penggunaan aplikasi seperti ChatGPT, Canva, hingga Google Translate. Namun, pemanfaatannya harus diarahkan untuk memperkuat nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Menurut Bobby, AI bukan hanya tren teknologi, melainkan alat kekuatan baru yang sedang membentuk ulang berbagai sektor kehidupan—dari pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga seni budaya. Oleh karena itu, talenta digital tidak boleh terbatas pada mahasiswa teknologi informasi semata.
“Mahasiswa bahasa bisa membuat chatbot pembelajaran Bahasa Sunda, mahasiswa pertanian bisa memakai AI untuk prediksi cuaca lokal, dan mahasiswa hukum bisa meneliti pelanggaran etika AI di sektor publik,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya inklusivitas dalam akses dan pemahaman teknologi. Inklusivitas, kata Bobby, bukan sekadar soal tersedianya perangkat dan jaringan internet, tetapi juga tentang pendampingan, pendidikan digital, dan sikap kritis masyarakat terhadap teknologi.
Pemerintah daerah, lanjutnya, bisa berperan dengan membuka kelas coding di pesantren, memberi pelatihan AI bagi content creator lokal, atau mendukung inisiatif kampus untuk riset-riset berbasis teknologi tepat guna.
Tak hanya itu, Bobby juga menyinggung peran AI dalam melestarikan budaya lokal. Ia memberi contoh bagaimana algoritma media sosial membantu memviralkan budaya seperti Pacu Jalur hingga dikenal secara nasional dan internasional. Menurutnya, ini adalah bukti bahwa teknologi bisa menjadi alat pelestarian budaya, bukan ancaman.
Namun, di balik potensi besar AI, Bobby juga mengingatkan akan risiko yang perlu diantisipasi. Di antaranya adalah manipulasi digital seperti deep fake, penggantian lapangan kerja oleh mesin, dan bias algoritma.
Ia mencontohkan munculnya video manipulatif yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto seolah-olah mengumumkan program bantuan fiktif pada awal 2025 sebagai salah satu tantangan nyata era AI.
Menutup paparannya, Bobby mengajak mahasiswa untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pengembang, pengkritik, dan pelindung nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya.
“Seperti dikatakan Mark Zuckerberg, AI bisa memenuhi kebutuhan akan teman, tetapi tidak ada pengganti untuk hubungan antarmanusia. Maka, teknologi harus digunakan untuk memperkuat kemanusiaan,” pungkasnya.
Kegiatan yang berlangsung interaktif ini menjadi bagian dari upaya bersama membangun kesadaran digital yang inklusif, khususnya bagi perempuan dan kelompok muda.
ICT Watch bersama para mitra berkomitmen melanjutkan kolaborasi dalam literasi digital agar manfaat AI dapat dirasakan secara adil oleh semua warga.
Dalam kegiatan bertajuk “Membangun Talenta Digital Inklusif untuk Masa Depan Berkeadilan”, Bobby menyampaikan pentingnya membangun ekosistem teknologi yang inklusif, berkeadilan, dan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
“Teknologi kecerdasan buatan bukan hanya soal mesin pintar, tetapi juga tentang siapa yang mengendalikannya dan siapa yang mendapatkan manfaatnya,” tegas Bobby di hadapan peserta yang sebagian besar merupakan mahasiswa dan penggiat literasi digital.
Ia menjelaskan bahwa AI kini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mulai dari penggunaan aplikasi seperti ChatGPT, Canva, hingga Google Translate. Namun, pemanfaatannya harus diarahkan untuk memperkuat nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Menurut Bobby, AI bukan hanya tren teknologi, melainkan alat kekuatan baru yang sedang membentuk ulang berbagai sektor kehidupan—dari pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga seni budaya. Oleh karena itu, talenta digital tidak boleh terbatas pada mahasiswa teknologi informasi semata.
“Mahasiswa bahasa bisa membuat chatbot pembelajaran Bahasa Sunda, mahasiswa pertanian bisa memakai AI untuk prediksi cuaca lokal, dan mahasiswa hukum bisa meneliti pelanggaran etika AI di sektor publik,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya inklusivitas dalam akses dan pemahaman teknologi. Inklusivitas, kata Bobby, bukan sekadar soal tersedianya perangkat dan jaringan internet, tetapi juga tentang pendampingan, pendidikan digital, dan sikap kritis masyarakat terhadap teknologi.
Pemerintah daerah, lanjutnya, bisa berperan dengan membuka kelas coding di pesantren, memberi pelatihan AI bagi content creator lokal, atau mendukung inisiatif kampus untuk riset-riset berbasis teknologi tepat guna.
Tak hanya itu, Bobby juga menyinggung peran AI dalam melestarikan budaya lokal. Ia memberi contoh bagaimana algoritma media sosial membantu memviralkan budaya seperti Pacu Jalur hingga dikenal secara nasional dan internasional. Menurutnya, ini adalah bukti bahwa teknologi bisa menjadi alat pelestarian budaya, bukan ancaman.
Namun, di balik potensi besar AI, Bobby juga mengingatkan akan risiko yang perlu diantisipasi. Di antaranya adalah manipulasi digital seperti deep fake, penggantian lapangan kerja oleh mesin, dan bias algoritma.
Ia mencontohkan munculnya video manipulatif yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto seolah-olah mengumumkan program bantuan fiktif pada awal 2025 sebagai salah satu tantangan nyata era AI.
Menutup paparannya, Bobby mengajak mahasiswa untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pengembang, pengkritik, dan pelindung nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya.
“Seperti dikatakan Mark Zuckerberg, AI bisa memenuhi kebutuhan akan teman, tetapi tidak ada pengganti untuk hubungan antarmanusia. Maka, teknologi harus digunakan untuk memperkuat kemanusiaan,” pungkasnya.
Kegiatan yang berlangsung interaktif ini menjadi bagian dari upaya bersama membangun kesadaran digital yang inklusif, khususnya bagi perempuan dan kelompok muda.
ICT Watch bersama para mitra berkomitmen melanjutkan kolaborasi dalam literasi digital agar manfaat AI dapat dirasakan secara adil oleh semua warga.
Pewarta : Kang Warsa
Dokumentasi : Iqbal
DOKPIM KOTA SUKABUMI
Pranata Kehumasan
Ross Pristianasari