Bencana yang melanda wilayah Sumatera meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat terdampak. Rumah-rumah rusak, fasilitas umum lumpuh, dan ribuan warga harus bertahan di pengungsian dengan keterbatasan. Dalam situasi tersebut, negara hadir melalui penguatan layanan kesehatan darurat.
Dalam rangka penanganan bencana tersebut, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memberangkatkan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Periode 1 pada Jumat, 19 Desember 2025 dan Sabtu, 20 Desember 2025. Para relawan ditugaskan untuk membantu proses penanganan dan pemulihan kesehatan masyarakat terdampak, dengan masa tugas paling lama 14 hari kalender, terhitung sejak 19 Desember 2025 hingga 2 Januari 2025.
Salah satu tenaga medis yang diberangkatkan adalah dr. Fety Lies Priyanti, dokter dari RSUD Al-Mulk Kota Sukabumi, yang mendapat tugas di wilayah Pidie Jaya, Aceh. Di sana, ia bergabung bersama relawan Kementerian Kesehatan, tim medis HEOC, serta relawan lintas daerah lainnya yang terus ditambah guna memperkuat layanan kesehatan di lapangan.
Kondisi Logistik Medis: Cukup, Namun Tetap Waspada
Di lokasi bencana, dr. Fety terlibat langsung dalam pelayanan kesehatan di posko pengungsian. Berdasarkan pengamatan dan evaluasi lapangan, ia menyampaikan bahwa stok obat dan logistik medis masih dinilai cukup untuk sementara. Ketersediaan obat-obatan umum dan kebutuhan medis dasar diperkirakan masih dapat mencukupi untuk tiga hari ke depan.
Meskipun demikian, ia mencatat adanya beberapa jenis obat yang mulai menipis. Salep untuk penyakit kulit menjadi salah satu kebutuhan yang cukup mendesak, mengingat penyakit kulit merupakan keluhan kesehatan terbanyak di pengungsian. Kondisi lingkungan yang lembap, keterbatasan air bersih, dan padatnya pengungsian memperbesar risiko penyakit tersebut.
Secara umum, posko kesehatan telah menerima distribusi bantuan kesehatan sebagai bagian dari logistik yang disalurkan ke daerah terdampak. Selain itu, relawan Kementerian Kesehatan, tim medis HEOC, dan relawan lainnya terus ditambah, sehingga secara langsung membantu pemenuhan kebutuhan layanan medis masyarakat.
Untuk memastikan ketersediaan logistik medis tetap aman, dr. Fety menekankan beberapa langkah penting, antara lain:
Pelayanan Holistik di Tengah Kesedihan
Bagi dr. Fety, tugas ini bukan sekadar menjalankan profesi, tetapi juga menghadapi pergulatan emosional. “Perasaan saya tentu sedih,” ungkapnya. Namun sebagai tenaga medis relawan, ia menyadari bahwa tanggung jawab kemanusiaan harus tetap dijalankan dengan sepenuh hati.
Ia menuturkan bahwa pelayanan yang diberikan tidak hanya berfokus pada pertolongan medis semata. Bersama tim, ia juga memberikan dukungan psikologis dan spiritual kepada para korban. Menurutnya, kekuatan psikis dan religius sangat berpengaruh terhadap ketahanan fisik pasien.
“Selain melakukan pertolongan medis, kami juga memberikan dukungan agar mereka punya semangat untuk bangkit menghadapi situasi ini. Pelayanan yang kami tekankan adalah pelayanan holistik,” jelasnya.
Empati, Trauma, dan Kendala Bahasa
Salah satu tantangan terbesar di lapangan adalah bagaimana menyampaikan informasi kesehatan dan bantuan dengan empati kepada warga yang masih trauma. Di satu sisi, pesan keselamatan dan kesehatan harus dipahami dengan baik. Di sisi lain, cara penyampaian yang keliru dapat menambah beban emosional korban.
Tantangan tersebut semakin kompleks dengan adanya keterbatasan bahasa. Banyak warga yang tidak fasih berbahasa Indonesia, sehingga komunikasi menjadi lebih sulit. Dalam kondisi tersebut, kesabaran, bahasa tubuh, serta bantuan dari warga setempat menjadi kunci agar pesan tetap tersampaikan.
Anak-Anak Aceh dan Pelajaran tentang Keteguhan
Setiap hari di lokasi bencana meninggalkan kesan mendalam bagi dr. Fety. Namun, salah satu momen yang paling menyentuh hatinya adalah saat berinteraksi dengan anak-anak korban bencana.
Meski telah mengalami trauma berat, anak-anak tersebut masih mampu tersenyum. Ketika ditanya tentang cita-cita, salah seorang anak menjawab sederhana, “Saya hanya ingin makan ayam dengan kecap.” Jawaban itu muncul karena keterbatasan makanan yang mereka alami selama di pengungsian.
Bahkan pada awal kejadian, beberapa anak mengalami kekurangan makanan selama beberapa hari, ada juga yang tidak makan sama sekali. Dari anak-anak itulah, dr. Fety dan tim relawan belajar tentang rasa syukur, keikhlasan, ketabahan, dan kesabaran dalam menghadapi ujian.
Anak-anak Aceh menunjukkan ketangguhan yang luar biasa. Pertanyaan yang paling sering mereka ajukan bukan tentang mainan atau hiburan, melainkan, “Kapan kami bisa masuk sekolah lagi?”, sebuah pertanyaan yang menyayat hati, mengingat sekolah mereka kini tertimbun lumpur.
Menjaga Diri agar Tetap Kuat Melayani
Di tengah kondisi yang penuh tekanan, dr. Fety menyadari bahwa menjaga kesehatan diri menjadi bagian penting dari pelayanan. Ia menjaga kondisi fisik dengan makan dan minum teratur, istirahat secara bergantian, serta tidak memaksakan diri saat kelelahan. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) juga dilakukan untuk melindungi diri dan mencegah sakit.
Secara mental, ia mengelola emosi dengan saling berbagi cerita bersama tim, memperkuat spiritualitas melalui doa, serta fokus pada hal-hal kecil yang dapat dibantu setiap hari. Dukungan sesama relawan dan kesadaran akan tujuan kemanusiaan menjadi sumber kekuatan untuk tetap tenang dan stabil.
Tantangan yang Menguatkan Empati
Sebagai relawan, dr. Fety mengakui bahwa keterbatasan fasilitas medis menjadi tantangan besar yang harus dihadapi bersamaan dengan tanggung jawab menjaga keselamatan pasien. Namun kondisi tersebut justru menumbuhkan empati yang lebih dalam, kewaspadaan, dan kerja sama tim yang kuat.
Dengan segala keterbatasan, ia dan tim tetap berupaya memberikan pelayanan terbaik. Di tengah lumpur, trauma, dan kesedihan, kehadiran para tenaga medis dan tenaga kesehatan menjadi penopang harapan, bahwa luka, baik fisik maupun batin, dapat perlahan dipulihkan.
Dalam rangka penanganan bencana tersebut, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memberangkatkan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Periode 1 pada Jumat, 19 Desember 2025 dan Sabtu, 20 Desember 2025. Para relawan ditugaskan untuk membantu proses penanganan dan pemulihan kesehatan masyarakat terdampak, dengan masa tugas paling lama 14 hari kalender, terhitung sejak 19 Desember 2025 hingga 2 Januari 2025.
Salah satu tenaga medis yang diberangkatkan adalah dr. Fety Lies Priyanti, dokter dari RSUD Al-Mulk Kota Sukabumi, yang mendapat tugas di wilayah Pidie Jaya, Aceh. Di sana, ia bergabung bersama relawan Kementerian Kesehatan, tim medis HEOC, serta relawan lintas daerah lainnya yang terus ditambah guna memperkuat layanan kesehatan di lapangan.
Kondisi Logistik Medis: Cukup, Namun Tetap Waspada
Di lokasi bencana, dr. Fety terlibat langsung dalam pelayanan kesehatan di posko pengungsian. Berdasarkan pengamatan dan evaluasi lapangan, ia menyampaikan bahwa stok obat dan logistik medis masih dinilai cukup untuk sementara. Ketersediaan obat-obatan umum dan kebutuhan medis dasar diperkirakan masih dapat mencukupi untuk tiga hari ke depan.
Meskipun demikian, ia mencatat adanya beberapa jenis obat yang mulai menipis. Salep untuk penyakit kulit menjadi salah satu kebutuhan yang cukup mendesak, mengingat penyakit kulit merupakan keluhan kesehatan terbanyak di pengungsian. Kondisi lingkungan yang lembap, keterbatasan air bersih, dan padatnya pengungsian memperbesar risiko penyakit tersebut.
Secara umum, posko kesehatan telah menerima distribusi bantuan kesehatan sebagai bagian dari logistik yang disalurkan ke daerah terdampak. Selain itu, relawan Kementerian Kesehatan, tim medis HEOC, dan relawan lainnya terus ditambah, sehingga secara langsung membantu pemenuhan kebutuhan layanan medis masyarakat.
Untuk memastikan ketersediaan logistik medis tetap aman, dr. Fety menekankan beberapa langkah penting, antara lain:
- Inventarisasi harian stok obat dan alat medis, termasuk infus, perban, dan antiseptik di setiap posko.
- Prioritas penambahan obat dan produk yang mulai menipis, seperti salep kulit, antibiotik topikal, dan analgesik.
- Koordinasi pengiriman cepat dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan BNPB apabila dibutuhkan pasokan tambahan.
- Penyediaan buffer stock minimal untuk kebutuhan emergensi di setiap posko.
Pelayanan Holistik di Tengah Kesedihan
Bagi dr. Fety, tugas ini bukan sekadar menjalankan profesi, tetapi juga menghadapi pergulatan emosional. “Perasaan saya tentu sedih,” ungkapnya. Namun sebagai tenaga medis relawan, ia menyadari bahwa tanggung jawab kemanusiaan harus tetap dijalankan dengan sepenuh hati.
Ia menuturkan bahwa pelayanan yang diberikan tidak hanya berfokus pada pertolongan medis semata. Bersama tim, ia juga memberikan dukungan psikologis dan spiritual kepada para korban. Menurutnya, kekuatan psikis dan religius sangat berpengaruh terhadap ketahanan fisik pasien.
“Selain melakukan pertolongan medis, kami juga memberikan dukungan agar mereka punya semangat untuk bangkit menghadapi situasi ini. Pelayanan yang kami tekankan adalah pelayanan holistik,” jelasnya.
Empati, Trauma, dan Kendala Bahasa
Salah satu tantangan terbesar di lapangan adalah bagaimana menyampaikan informasi kesehatan dan bantuan dengan empati kepada warga yang masih trauma. Di satu sisi, pesan keselamatan dan kesehatan harus dipahami dengan baik. Di sisi lain, cara penyampaian yang keliru dapat menambah beban emosional korban.
Tantangan tersebut semakin kompleks dengan adanya keterbatasan bahasa. Banyak warga yang tidak fasih berbahasa Indonesia, sehingga komunikasi menjadi lebih sulit. Dalam kondisi tersebut, kesabaran, bahasa tubuh, serta bantuan dari warga setempat menjadi kunci agar pesan tetap tersampaikan.
Anak-Anak Aceh dan Pelajaran tentang Keteguhan
Setiap hari di lokasi bencana meninggalkan kesan mendalam bagi dr. Fety. Namun, salah satu momen yang paling menyentuh hatinya adalah saat berinteraksi dengan anak-anak korban bencana.
Meski telah mengalami trauma berat, anak-anak tersebut masih mampu tersenyum. Ketika ditanya tentang cita-cita, salah seorang anak menjawab sederhana, “Saya hanya ingin makan ayam dengan kecap.” Jawaban itu muncul karena keterbatasan makanan yang mereka alami selama di pengungsian.
Bahkan pada awal kejadian, beberapa anak mengalami kekurangan makanan selama beberapa hari, ada juga yang tidak makan sama sekali. Dari anak-anak itulah, dr. Fety dan tim relawan belajar tentang rasa syukur, keikhlasan, ketabahan, dan kesabaran dalam menghadapi ujian.
Anak-anak Aceh menunjukkan ketangguhan yang luar biasa. Pertanyaan yang paling sering mereka ajukan bukan tentang mainan atau hiburan, melainkan, “Kapan kami bisa masuk sekolah lagi?”, sebuah pertanyaan yang menyayat hati, mengingat sekolah mereka kini tertimbun lumpur.
Menjaga Diri agar Tetap Kuat Melayani
Di tengah kondisi yang penuh tekanan, dr. Fety menyadari bahwa menjaga kesehatan diri menjadi bagian penting dari pelayanan. Ia menjaga kondisi fisik dengan makan dan minum teratur, istirahat secara bergantian, serta tidak memaksakan diri saat kelelahan. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) juga dilakukan untuk melindungi diri dan mencegah sakit.
Secara mental, ia mengelola emosi dengan saling berbagi cerita bersama tim, memperkuat spiritualitas melalui doa, serta fokus pada hal-hal kecil yang dapat dibantu setiap hari. Dukungan sesama relawan dan kesadaran akan tujuan kemanusiaan menjadi sumber kekuatan untuk tetap tenang dan stabil.
Tantangan yang Menguatkan Empati
Sebagai relawan, dr. Fety mengakui bahwa keterbatasan fasilitas medis menjadi tantangan besar yang harus dihadapi bersamaan dengan tanggung jawab menjaga keselamatan pasien. Namun kondisi tersebut justru menumbuhkan empati yang lebih dalam, kewaspadaan, dan kerja sama tim yang kuat.
Dengan segala keterbatasan, ia dan tim tetap berupaya memberikan pelayanan terbaik. Di tengah lumpur, trauma, dan kesedihan, kehadiran para tenaga medis dan tenaga kesehatan menjadi penopang harapan, bahwa luka, baik fisik maupun batin, dapat perlahan dipulihkan.
Kang Warsa
DOKPIM KOTA SUKABUMI
Pranata Kehumasan
Ross Pristianasari





Posting Komentar untuk "Di Tengah Trauma Aceh, dr. Fety Menguatkan Harapan dari Posko Kesehatan"
Silakan kirim saran dan komentar anda