Menggali Budaya Kasukabumian dalam Membangun Kota Berperadaban (Bag 2)



Penggalian unsur kebudayaan kasukabumian pada bahasa memang sangat penting didahulukan mengingat bahasa lebih mudah dikenal dari pada unsur-unsur lainnya. Setiap orang dapat saja memakai dan menggunakan unsur kebudayaan lainnya, tetapi dalam bertutur melalui bahasa dan dialek yang digunakan akan terlihat siapa dan dari daerah mana asal si penutur tersebut.

Unsur kebudayaan lain yang harus didahulukan digali oleh warga Sukabumi yaitu sistem pengetahuan. Seperti apakah sistem pengetahuan yang dikembangkan di Sukabumi baik tradisional atau kontemporer. Unsur kebudayaan bersifat universal, artinya di setiap penjuru dunia sistem pengetahuan yang dianut oleh siapa pun dapat saja saling bertukar silang. Tetapi, tidak dapat dimungkiri setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing dalam penemuan dan penerapan pengetahuan tersebut.

Secara umum, sistem pengetahuan tradisional di Sukabumi dipengaruhi oleh cara orang Sunda mengolah dan mengelola alam. Ada ungkapan, kehidupan orang Sunda sejak era revolusi agrikultur selalu berisisan dengan alam. Sampai sekarang, orang-orang Baduy sebagai bagian dari Sunda masih memegang teguh pikukuh leluhur mereka dalam menjaga alam. Beberapa pikukuh seperti: lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang jangan dipotong, pendek jangan disambung) dalam beberapa konteks menunjukkan bagaimana pentingnya orang Sunda melestarikan alam.

Dalam pelestarian alam dan lingkungan, sistem pengetahuan di tatar Sunda di zaman tradisional benar-benar memerhatikan koneksi dan relasi mereka dengan alam. Masyarakat ngahuma (bercocok tanam) telah mengembangkan sistem pertanian tradisional. Sampai sekarang di wilayah selatan Kota Sukabumi (Kecamatan Baros, Cibeureum, dan Lembursitu) sistem pertanian tetap dijalankan oleh sebagian kecil masyarakat. Peralihan dari cara bercocok tanam tradisional ke cara modern memang telah mengubah paradigma petani dari penggunaan alat-alat tradisional menjadi lebih mekanis. Tetapi secara substansi, sistem pertanian dan bercocok tanam yang dikembangkan sampai sekarang masih memperlihatkan hubungan antara masa lalu dengan saat ini.

Sistem pengetahuan yang telah dikembangkan oleh masyarakat bercocok tanam selain telah menciptakan alat-alat pertanian, juga telah melahirkan koneksi antara kehidupan manusia dengan musim dan waktu. Penamaan waktu dalam tradisi Sunda sangat erat kaitannya dengan kebiasaan mereka, sebagai contoh wanci pecat sawed lahir sebagai bagian dari aktivitas pertanian tradisional, antara pukul 10-11 para petani sudah membuka alat pembajaknya, menyiapkan diri untuk beristirahat.

Kebiasaan leluhur tersebut tentu saja terus dilestarikan oleh generasi setelahnya. Orang Sunda tidak akan berani melanggar waktu yang telah ditentukan. Jika sampai wanci lingsir ngulon (saat matahari telah bergeser ke sebelah barat) masih ada petani membajak sawah, dia dipandang telah melanggar aturan (pamali). Pelanggaran terhadap kata “pamali” berarti siap menerima konsekwensi dan akibatnya.

Berbagai peralatan telah diciptakan oleh masyarakat Sukabumi yang memegang teguh tradisi Sunda. Sistem pertanian yang dikembangkan mengharuskan masyarakat tradisional berpikir keras alat-alat dan keperluan yang harus disiapkan saat mengawali masa bercocok tanam, pertengahan musim, dan sebelum musim panen. Pengetahuan mereka tentang skema iklim dan cuaca, hitungan terhadap masa bercocok tanam, dan pantangan-pantangan yang harus dihindari selama proses bercocok tanam menjadi pengetahuan yang mereka miliki, dan memiliki kekhasan.

Hal-hal itu harus digali dan ditemukan kembali oleh orang Sunda. Untuk orang Sukabumi, tentu saja harus dapat menggali kekhasan tradisi di atas yang dapat menjadi petunjuk bahwa sistem pengetahuan telah dikembangkan di Sukabumi.

Kesulitan menghubungkan sistem pengetahuan tradisional dengan modern

Kita sering memiliki anggapan antara sistem pengetahuan tradisional dan modern tampak saling bertolak-belakang atau saling bertabrakan. Cara-cara tradisional sering dipandang sebagai cara kuno, ketinggalan zaman, dan tidak sesuai dengan kondisi modern. Pengaruh cara pandang para saintis Barat sangat kuat.

Memang benar, jika kita melihat sejarah perkembangan pengetahuan manusia, di sana selalu muncul pertikaian antara pengusung tradisionalisme dengan modernisme sesuai dengan zamannya. Tradisionalisme selalu diidentikkan dengan mitos, khurafat, dan klenik. Orang yang hidup setelahnya atau generasi selanjutnya saat ditemukan teori baru tentang kepelbagaian langsung mengecap cara-cara lama telah usang, pikiran lama telah tergantikan oleh cara pandang yang lebih segar. Konflik pemikiran dan pengetahuan sering terjadi dan tidak pernah dapat dihindari, mungkin sampai sekarang.

Jika dipikir secara mendalam, sebetulnya antara tradisi dan kekinian sama sekali tidak menunjukkan pertentangan secara diametral. Sebelum era Copernicus, mayoritas manusia menganut Geosentris, bumi sebagai pusat tata surya. Pada tahap selanjutnya teori Geosentris digugurkan oleh Heliosenstris. Transisi pemikiran ini telah melahirkan pertikaian bukan pada ranah pengetahuan juga menimbulkan konflik kasat mata, saling serang antara penganut Geosentris dengan penganut teori baru.

Nyatanya, kesalahpahaman terletak pada pemahamannya saja, Geosentris dan Heliosentris hanya dipandang sebagai dua teori yang dipusatkan pada ranah fisik semata. Substansi sebenarnya dari teori ini yaitu, bumi sebagai pusat kehidupan dan matahari sebagai pusat tata surya, keduanya sama sekali tidak bertolak belakang.

Di masyarakat Sunda, pertikaian pemikiran seperti di atas memang luput dari kehidupan. Hal ini menunjukkan kepiawaian para leluhur kita dalam memperkenalkan pengetahuan kepada masyarakat secara substantif. Sebagai contoh, leluhur Sunda tidak pernah membuat pernyataan dalam bentuk leksikal, lugas, dan definitif. Mereka cenderung melahirkan simbol dan mengemukakan pandangan dalam bentuk silib siloka atau metafor. Hal ini dilakukan agar generasi setelahnya tidak baku hantam dalam ranah tekstual, tapi lebih mengajak agar berpikir secara mendalam terhadap simbol yang ada dan mengemukakannya secara kontesktual.

Para leluhur kita menyadari bahwa perkembangan pemikiran manusia dari waktu ke waktu akan mengubah cara pandang manusia terhadap realita. Itulah alasan peribahasa, miindung ka waktu mibapa ka jaman (adaptasi terhadap waktu dan perkembangan zaman) selalu dibahasakan dari waktu ke waktu di masyarakat Sunda.

Ada kesalahpahaman dalam memaknai peribahasa di atas, seolah adaptasi dengan waktu dan perkembangan zaman dimaknai dengan sikap kita meninggalkan kebiasaan lama dan digantikan oleh kebiasaan baru. Pandangan seperti itu justru yang telah membuka pertentangan antara trandisi dan modern. Yang seharusnya terjadi yaitu kita memandang tradisi-tradisi yang telah diciptakan oleh para leluhur sebagai bekal bagi kita untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan cara pandang modern. Jika tidak demikian, maka dalam proses penggalian sistem pengetahuan kasundaan dan kasukabumian akan terus mengalami hambatan karena keengganan kita dalam mengakui sistem pengetahuan yang telah diciptakan oleh para leluhur.

Ketika masyarakat modern telah terbiasa menggunakan jam dalam mengetahui waktu, tidak akan salah ketika masyarakat Sukabumi modern tetap berpatokan pada sebutan wanci untuk menunjukkan waktu. Kalau mau jujur, penggunaan jam dalam mengatahui waktu justru hanya identik dengan aktivitas kerja secara umum, misalnya jam kerja, jam belajar, jam istirahat, dan jam makan. Sementara itu, dengan menggunakan wanci menunjukkan kesesuaian antara waktu dengan aktivitas yang dikerjakan secara detail.

Sebutan wanci sareureuh budak (anak istirahat) di malam hari menunjukkan anak-anak harus beristirahat di waktu itu. Jam modern memandangnya lain, siapapun dapat istirahat di jam dan waktu kapan saja. Waktu dalam tradisi Sunda lebih menuntut kemurnian jam biologis atau hak-hak tubuh manusia. Namun sekali lagi, hal tersebut bukan merupakan pertentangan yang harus dihadap-hadapkan secara diametral. Ini menunjukkan tidak ada persoalan serius dan mendasar antara sistem pengetahuan tradisional dengan modern. Apa yang kita pandang modern saat ini juga tetap akan disebut ketinggalan zaman di masa puluhan atau ratusan tahun yang akan datang.

Dimuat Radar Sukabumi
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Menggali Budaya Kasukabumian dalam Membangun Kota Berperadaban (Bag 2)"